Pematangsiantar mengikuti Konferensi Kota Toleran di Singkawang. Benarkah ini langkah strategis atau hanya agenda seremonial? Pemerintah kota menyiapkan audit kerukunan, indeks toleransi kelurahan, hingga program inklusi sosial.
Pematangsiantar|Simantab – Keikutsertaan Wali Kota Pematangsiantar Wesly Silalahi bersama Ketua TP PKK Liswati Wesly Silalahi dalam Konferensi Kota Toleran di Singkawang pada 15 sampai 16 November 2025 memunculkan dua pandangan berbeda. Sebagian menilai kehadiran itu hanya bagian dari rutinitas seremonial tahunan, namun sebagian lainnya melihat peluang bagi Pematangsiantar untuk memperkuat kebijakan toleransi.
Konferensi yang diselenggarakan oleh SETARA Institute ini bukan hanya forum pertemuan pejabat, tetapi ruang pertukaran gagasan dan praktik kebijakan yang dapat membantu kota-kota menghadapi dinamika keberagaman yang terus berubah.
Kepala Kesbangpol Pematangsiantar, Ali Akbar Simamora, menilai kehadiran Wali Kota bukan sekadar agenda simbolik. Ia menegaskan bahwa pemerintah kota ingin membawa pulang pelajaran yang dapat dipraktikkan, bukan hanya slogan.

“Fokus kami bukan pada wacana, tetapi bagaimana praktik terbaik bisa diterapkan sebagai kebijakan yang sesuai dengan karakter sosial Pematangsiantar,” ujar Ali Akbar, Selasa 18 November 2025.
Menurutnya, banyak kebijakan sosial gagal karena hanya meniru konsep kota lain tanpa mempertimbangkan struktur sosial setempat. Singkawang memang memiliki indeks toleransi tinggi, namun kondisi sosial budaya mereka tidak sepenuhnya sama dengan Pematangsiantar.
Ia menjelaskan bahwa Kesbangpol akan memulai pendekatan bertahap berbasis data, dimulai dari audit kerukunan internal. Audit ini memetakan potensi gesekan sosial di tingkat kelurahan melalui catatan kasus, persepsi publik, dan data forum kerukunan. Setelah itu, intervensi kebijakan akan diujicobakan melalui program percontohan di kelurahan tertentu agar dapat dievaluasi sebelum diperluas ke seluruh kota.
Tahap akhir akan berfokus pada evaluasi yang mengukur perubahan nyata. Indikator penilaian tidak hanya melihat kehadiran warga dalam kegiatan sosial, tetapi juga perubahan sikap masyarakat, penurunan insiden intoleransi, serta peningkatan akses layanan publik bagi kelompok minoritas.
Kesbangpol juga sedang menyiapkan konsep Indeks Kerukunan Kelurahan. Indeks ini menilai setiap kelurahan melalui indikator seperti laporan diskriminasi, partisipasi kelompok minoritas, serta harmoni kegiatan keagamaan. Hasilnya akan dipublikasikan sebagai dasar penyusunan program tahunan pemerintah kota.
Selain itu, PKK turut didorong memainkan peran sebagai agen toleransi di tingkat keluarga. Menurut Ali Akbar, jaringan sosial PKK yang luas dapat dimanfaatkan untuk memberikan pelatihan toleransi keluarga, agar para ibu memiliki peran aktif dalam membangun budaya sosial yang inklusif.
Sementara itu, Direktur Eksekutif SETARA Institute, Halili Hasan, mengapresiasi partisipasi Pematangsiantar dalam konferensi tersebut, tetapi mengingatkan adanya risiko menjadikan toleransi hanya sebagai acara seremonial.
“Konferensi itu penting, tetapi lebih penting lagi keberanian membongkar ketidaksetaraan sosial yang masih bertahan,” ujarnya, Selasa 18 November 2025.
Menurutnya, toleransi bukan konsep abstrak, tetapi kerja teknis yang menuntut keberpihakan pada kelompok rentan seperti minoritas etnis, komunitas keagamaan kecil, serta warga miskin yang sering tersisih dari ruang publik.
Ia mengingatkan bahwa kebijakan tanpa indikator jelas hanya menghasilkan slogan. Karena itu, ia mendorong pemerintah kota menetapkan target yang dapat dipantau publik, termasuk melalui publikasi data secara berkala. Halili juga menekankan pentingnya melibatkan masyarakat sipil karena pembangunan ekosistem toleransi tidak mungkin dijalankan pemerintah sendiri.
“Setiap kota punya peluang untuk naik kelas dalam mengelola keberagaman. Yang dibutuhkan sekarang adalah keberanian mengeksekusi. Tanpa itu, toleransi hanya akan menjadi kalimat hiasan,” tutupnya.(Putra Purba)






