Masa 100 hari kerja yang biasanya menjadi momentum gebrakan awal, kini justru menuai sorotan tajam dari berbagai pihak,
Pematangsiantar|Simantab – Seratus hari sudah berlalu sejak Wali Kota dan Wakil Wali Kota Pematangsiantar, Wesly Silalahi dan Herlina, resmi dilantik pada 20 Februari 2025. Namun, capaian pemerintahan baru ini dinilai belum menunjukkan perubahan signifikan yang dirasakan langsung oleh masyarakat.
Masa 100 hari kerja yang biasanya menjadi momentum gebrakan awal, kini justru menuai sorotan tajam dari berbagai pihak, mulai dari partai pengusung, pengamat, hingga masyarakat umum. Evaluasi menyeluruh terhadap kinerja birokrasi dan pelayanan publik pun menjadi desakan utama.
Desakan Perombakan Birokrasi Menguat
Anggota Komisi III DPRD Pematangsiantar dari Fraksi Gerindra, Chairudin Lubis, yang juga berasal dari partai pengusung Wesly-Herlina, secara tegas menyuarakan perlunya perombakan besar-besaran di tubuh birokrasi kota.
Menurutnya, langkah Wali Kota yang menunda perombakan di awal masa jabatan demi memberi kesempatan kepada organisasi perangkat daerah (OPD) untuk unjuk kinerja adalah keputusan bijak. Namun, hasilnya tidak sesuai harapan.
“Tampaknya OPD lebih sibuk bermain politik, menjilat, dan melakukan manuver kontraproduktif yang justru melemahkan pemerintahan Wesly-Herlina,” tegas Chairudin, Senin (30/06/2025).
Ia menilai, setelah 100 hari, Wali Kota dan Wakil Wali Kota sudah lebih memahami peta kekuatan birokrasi dan dinamika sosiologis internal pemerintahan, yang akan sangat penting dalam menyusun strategi jangka panjang.
Chairudin menegaskan dukungan politik Fraksi Gerindra terhadap Wesly-Herlina tetap solid, namun dengan catatan kritis:
“Kami siap membela semua kebijakan yang berpihak kepada rakyat. Tapi jika kebijakan menjauh dari visi dan misi, kami tak segan untuk mengoreksi di garis terdepan.”
Ia menambahkan bahwa kinerja Pemko yang dinilai “sangat kacau” dalam Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) 2024, memperkuat urgensi perombakan birokrasi dalam waktu dekat.
Sorotan Infrastruktur, Pasar, dan Pelayanan Publik
Kritik serupa datang dari Ketua Fraksi NasDem DPRD Kota Pematangsiantar, Tongam Pangaribuan, yang juga berasal dari partai pengusung.
“Sudah lebih dari 100 hari, tapi belum tampak upaya serius perbaikan dari Wali Kota,” ujarnya.
Tongam menyoroti lambannya penanganan infrastruktur, khususnya jalan rusak, meski anggaran pemeliharaan telah tersedia dalam APBD 2025.
Ia juga menyinggung penanganan pascakebakaran Gedung IV Pasar Horas. Hingga kini, banyak pedagang masih berjualan di badan jalan di depan Gedung VI, menyebabkan kemacetan dan kekacauan lalu lintas.
Sorotan lain diarahkan pada RSUD Djasamen Saragih. Menurutnya, rumah sakit milik pemerintah ini belum memberikan pelayanan maksimal karena kekurangan sumber daya manusia (SDM) yang mampu mengoperasikan peralatan medis modern.
“Saya sendiri membawa keluarga ke RSUD dan harus dirujuk ke rumah sakit swasta karena alat scan tidak bisa dioperasikan. Percuma alat canggih kalau SDM-nya tidak siap,” keluh Tongam.
Ia juga mengkritik ketimpangan pembangunan antar wilayah kecamatan. Menurutnya, perhatian lebih banyak difokuskan di Kecamatan Siantar Barat, sementara kecamatan lain nyaris luput dari perhatian.
“Seharusnya pemerataan pembangunan dijalankan agar tidak muncul kecemburuan sosial,” tambahnya.
Pengamat: Daya Beli dan Penataan Kota Mandek
Pengamat ekonomi dari Universitas Simalungun, Elida Wati Purba, menilai Pemko Pematangsiantar belum menunjukkan perhatian serius terhadap peningkatan daya beli masyarakat dan pemberdayaan UMKM lokal.
“Belum terlihat progres nyata dalam mendorong konsumsi produk UMKM. Padahal, ini bisa menjadi sumber peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD),” jelasnya.
Elida juga menyoroti buruknya penataan kota, mulai dari tumpukan sampah, tata ruang yang semrawut, hingga persoalan relokasi pedagang Pasar Horas.
Ia menegaskan pentingnya pendekatan humanis dan transparan dalam merelokasi pedagang, termasuk penyediaan lokasi strategis serta layanan pengaduan resmi bagi pedagang yang dirugikan.
“Relokasi tanpa komunikasi yang adil hanya akan menambah konflik. Harus ada saluran pengaduan resmi agar suara pedagang bisa terdengar dan ditindaklanjuti,” pungkasnya.
Masa pasca-100 hari kerja Wesly-Herlina kini menjadi titik krusial. Harapan masyarakat tinggi, tapi kesabaran tidak tanpa batas. Perombakan birokrasi dan langkah nyata perbaikan pelayanan publik menjadi tuntutan mendesak.(putra purba)