Dairi – Ratusan warga Kabupaten Dairi, Sumatra Utara, sejatinya menggelar aksi unjuk rasa ke kantor Bupati dan gedung DPRD setempat pada Kamis (29/4/2021).
Karena ada upaya pencegatan dari pihak-pihak tertentu, aksi akhirnya dilaksanakan di lapangan Parongil, dengan menggelar teatrikal mangandung atau meratap.
Aksi mangandung ini dilakonkan ibu Tambunan, perwakilan masyarakat dari Lae Panginuman, Kecamatan Silima Pungga pungga, Kabupaten Dairi.
Dia menyampaikan andung atau ratapan, keprihatinannya akan potensi bahaya dan bencana yang mengancam keberlangsungan tanah, air, hutan, dan kehidupan petani Dairi dengan hadirnya perusahaan tambang milik keluarga Aburizal Bakrie PT Dairi Prima Mineral (PT DPM).
Ratapan juga mengungkapkan bagaimana sikap pemerintah yang tidak peduli dengan keselamatan masyarakatanya, demi kepentingan atau atas nama investasi.
“Ruang demokrasi masyarakat kembali dikhianati. Meskipun banyak gangguan dan pencegatan, sehingga warga dipaksa mundur kembali ke desa mereka, sehingga peserta aksi tidak berhasil menuju pusat ibu kota kabupaten. Masyarakat di lingkar tambang akhirnya bersepakat dan memutuskan melakukan aksi teatrikal di tanah lapangan Parongil,” kata Rohani Manalu, salah satu peserta aksi.
Dalam pernyataan sikap, warga pengunjuk rasa yang berada di sekitar lingkar tambang tetap menolak kehadiran PT DPM di Dairi.
VIDEO: Aksi Teatrikal Mangandung Warga Dairi
Untuk itu mereka menuntut Bupati Dairi Eddy Keleng Ate Berutu segera mencabut Surat Keterangan Kelayakan Lingkungan Hidup (SKKLH) No 731, November 2005 yang selama ini menjadi landasan hukum bagi tambang beroperasi. SKKLH tersebut merupakan produk Bupati Dairi sebelumnya.
Mereka juga mendesak Bupati Dairi untuk menolak pertambangan dan disampaikan pada pemerintah pusat dan publik luas. Hal itu sebagai tindakan menyelamatkan kepentingan dan lingkungan hidup di Dairi.
Masyarakat juga meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk menghentikan pembahasan addendum Analisis Dampak Lingkungan (Andal), Rencana Pengelolaan Lingkungan (RPL-RKL) tipe A yang saat ini sedang diajukan di Jakarta oleh PT DPM.
Dalam aksinya, warga didukung aliansi organisasi masyarakat lainnya di Dairi serta Sekretariat Bersama Advokasi Tolak Tambang, yakni YDPK, Bakumsu dan Jatam.
Upaya bersama ini kata Rohani, untuk menyelamatkan ancaman lingkungan hidup dari pertambangan yang dipaksakan berada di kawasan risiko gempa dan banjir bandang.
Fakta PT DPM
Penelusuran aliansi, sesuai rilis diterima Simantab.com, PT DPM adalah sebuah perusahaan patungan antara konglomerat pertambangan berbasis di Beijing, China Non-Ferrous (NFC) 51 persen dan perusahaan tambang batu bara raksasa Indonesia, Bumi Resources milik keluarga Aburizal Bakrie 49 persen.
Perusahaan ini mendapat kontrak karya (KK) No.99 PK 0071 pada 18 Februari 1998 dari Menteri Energi Sumber Daya Alam dengan konsesi total seluas 24.636 Ha.
Konsesi PT DPM tersebar di tiga kabupaten, yakni Kabupaten Dairi, Kabupaten Pakpak Bharat, dan Kabupaten Aceh Singkil, Nanggroe Aceh Darussalam.
Alasan Tuntutan Warga
Tuntutan warga muncul bersamaan dengan dilanjutkannya pembahasan addendum Andal RKL, RPL Tipe A PT DPM saat ini di KLHK.
Pengajuan addendum Andal ini dilakukan karena PT DPM sedang mengajukan tiga perubahan izin lingkungan, yaitu perubahan izin lokasi gudang bahan peledak, lokasi tailing storage facility (TSF), dan penambahan lokasi mulut tambang (portal).
Alasan warga menolak PT DPM, di antaranya bahwa masyarakat di sekitar lokasi proyek PT DPM mayoritas bermata pencaharian sebagai petani yang hidup bergantung kepada sumber daya alam seperti air, tanah, sungai dan hutan.
Sebanyak 76 persen warga bekerja sebagai petani dan mengandalkan hidupnya dari hasil pertanian dari generasi ke generasi.
Namun saat ini, masyarakat di sekitar wilayah pertambangan PT DPM khawatir akan potensi daya rusak tambang ke depan secara khusus di lahan-lahan pertanian masyarakat.
Ancaman berkurangnya pasokan air, baik untuk kebutuhan sehari-hari dan sumber irigasi, potensi tercemarnya tanah akibat air asam tambang yang dihasilkan dari limpahan bendungan limbah.
“Ke depan terjadinya alih fungsi lahan dan profesi sebagai petani dikhawatirkan akan mengancam ketahanan pangan masyarakat dan kedaulatan mereka atas tanah,” imbuh Rohani. ()