
Dua ASN Dinas Pendidikan mempertanyakan dasar mutasi yang dianggap tidak transparan. DPRD Pematangsiantar mendesak TPK membuka SOP penilaian kinerja untuk memastikan proses rotasi sesuai prinsip meritokrasi.
Pematangsiantar|Simantab – Polemik mutasi pejabat di lingkungan Pemerintah Kota Pematangsiantar kembali mencuat setelah dua aparatur sipil negara (ASN) dari Dinas Pendidikan, Simon Tarigan dan Suhendri Ginting, menghadirkan bukti baru terkait dasar mutasi yang mereka nilai tidak memenuhi prosedur. Bukti tersebut disampaikan dalam rapat dengar pendapat (RDP) lanjutan bersama Komisi I DPRD Pematangsiantar pada Kamis (13/11/2025).
Rapat yang turut dihadiri Tim Penilai Kinerja (TPK), Sekretaris Daerah Junaedi Sitanggang, sejumlah pejabat Pemko, serta anggota Komisi I DPRD berlangsung dengan suasana cukup tegang.
Simon, yang sebelumnya menjabat Sekretaris Dinas Pendidikan, menyebut mutasi dirinya tidak sejalan dengan Permenpan RB Nomor 21 Tahun 2024 Pasal 16 ayat 4 huruf e. Ia juga mengungkap kehilangan tunjangan sertifikasi guru selama tiga bulan, sesuai ketentuan Permendikdasmen Nomor 4 Tahun 2025.
“Kami sudah meminta penjelasan mengenai SOP penilaian kinerja, tetapi yang disampaikan TPK hanya tahapan administrasi, bukan indikator penilaian,” kata Simon.
Menurutnya, ketidakterbukaan indikator penilaian menunjukkan lemahnya transparansi dalam sistem rotasi ASN. Ia menilai keputusan mutasi dapat dianggap menyalahi prinsip merit karena tidak dijelaskan dasar objektif yang digunakan.
“TPK berkewajiban menjelaskan indikator penilaian. Jika tidak, keputusan mutasi berpotensi cacat prosedur dan dapat dianulir oleh Inspektorat atau Komisi ASN,” ujarnya.
Simon menyebut telah mengirim surat keberatan kepada Wali Kota Wesly Silalahi dan sejumlah instansi terkait untuk meminta klarifikasi resmi. Ia juga membeberkan bahwa pada Februari 2025 pernah dipanggil Sekda Junaedi untuk menandatangani surat pernyataan bersedia dimutasi ke jabatan eselon IIIA.
“Saya menandatangani karena mengira kebijakannya adil. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya,” ungkapnya.
Menanggapi hal tersebut, Sekda Junaedi Sitanggang membantah adanya pelanggaran prosedur. Ia menegaskan rotasi terhadap 51 pejabat administrasi dan pengawas pada 3 Oktober 2025 sudah sesuai aturan dan berdasarkan rekomendasi Badan Kepegawaian Negara (BKN).
“BKN telah memberikan izin. Simon dikembalikan ke jabatan fungsional guru, dan itu sesuai mekanisme,” kata Junaedi.
Ia menambahkan, selama Simon menjabat struktural, status fungsionalnya hanya dinonaktifkan sementara. Pengembalian ke jabatan fungsional disebut bukan demosi, melainkan penyesuaian regulasi.
Meski demikian, perdebatan yang terjadi membuat RDP sempat memanas. Anggota Komisi I, Ilhamsyah Sinaga, menyarankan agar persoalan dibawa ke jalur hukum bila tidak ada titik temu.
“Jika tidak ada kesepahaman, jalurnya bisa ke PTUN. Namun kami tetap berharap masalah ini diselesaikan secara bijaksana,” kata Ilhamsyah.
Ia menegaskan DPRD akan melanjutkan pendampingan melalui Rapat Gabungan Komisi dan kembali memanggil kedua pihak untuk mencari penyelesaian yang adil.
Ketua Komisi I DPRD Pematangsiantar, Robin Manurung, menilai perdebatan ini mencerminkan lemahnya komunikasi dan transparansi TPK dalam manajemen kepegawaian.
“SOP harus dijelaskan secara terbuka agar tidak menimbulkan tafsir sepihak. ASN berhak mengetahui dasar penilaian kinerja mereka,” tegasnya.
Ia menambahkan, kejelasan SOP sangat penting untuk menjaga rasa keadilan dan kepercayaan pegawai terhadap sistem birokrasi. Tanpa indikator yang jelas, keputusan rotasi dapat menimbulkan ketidakstabilan internal serta mengganggu efektivitas pelayanan publik.
“Mutasi tanpa SOP yang jelas menciptakan celah hukum karena tidak memiliki dasar administratif yang kuat. Dalam audit kepegawaian, hal ini bisa dikategorikan sebagai maladministrasi atau penyalahgunaan kewenangan,” ujarnya.
Robin memastikan pihaknya akan meminta seluruh dokumen terkait mutasi tersebut untuk ditelaah sebelum menentukan langkah lanjutan.
RDP hari itu berakhir tanpa keputusan final. Namun, satu poin menjadi sorotan utama: ketika dasar penilaian kinerja tidak dijelaskan secara terbuka, keadilan dan kepercayaan terhadap sistem birokrasi dapat terkikis dan menimbulkan persoalan baru.(Putra Purba)






