Kedua tokoh karismatik ini dikenal atas perlawanan heroik mereka terhadap penjajahan Belanda di tanah Simalungun diusulkan jadi pahlawan nasional.
Pematangsiantar|Simantab – Pasca peresmian Monumen Raja Sang Naualuh, Raja Siantar ke 14, pengusulannya jadi pahlawan nasional mencuat. Perjuangan gigi Sang Naualuh semasa hidupnya melawan kolonialisme dianggap pantas menjadikannya sebagai pahlawan nasional.
Namun, selain Raja Siantar itu, ada tokoh lain dari Simalungun, tepatnya Raja Raya yang dikenal dengan nama Tuan Rondahaim Saragih, pantas mendapatkan predikat pahlawan nasional.
Kedua tokoh karismatik ini dikenal atas perlawanan heroik mereka terhadap penjajahan Belanda di tanah Simalungun.
Sang Naualuh Damanik: Pemimpin Visioner yang Teguh Menentang Penjajah

Cicit Dari Raja Sang Naualuh Damanik, Tuan Ramot Damanik mengungkapkan, kakek buyutnya, yang memerintah Kerajaan Siantar dari tahun 1888 hingga 1906, dikenal sebagai sosok raja yang visioner dan gigih menentang dominasi Belanda selama 18 tahun.
Meskipun berbagai upaya penundukan dilakukan oleh pemerintah kolonial, termasuk tawaran Korte Verklaring, Sang Naualuh dengan tegas menolaknya. Penolakan ini berujung pada pencabutan legitimasinya dan pengasingannya ke Bengkalis pada tahun 1906.
“Singkatnya, Raja Sang Naualuh Damanik adalah Raja Siantar ke-14 yang memerintah dari tahun 1888 hingga 1904. Ia dikenal karena perlawanan terhadap penjajahan Belanda selama 18 tahun, yang membuatnya diasingkan ke Bengkalis,” ujar Tuan Ramot Damanik, Jumat (02/05/2025).
Kisahnya, terlahir dengan nama Tuan Sangma Damanik pada tahun 1871 di istana megah Siantar, Sang Naualuh mewarisi delapan sifat mulia yang kemudian melekat pada gelarnya. Ayahnya, Raja Mapir Damanik dan ibunya, Rumainim boru Saragih, menanamkan nilai-nilai luhur yang membentuk kepribadiannya.
Selain perlawanan politik, kepemimpinan Sang Naualuh juga ditandai dengan berbagai inovasi pembangunan di Siantar, termasuk pengembangan sektor pertanian dan infrastruktur perdagangan.
“Bayangkan, di Rambung Merah, di eks gedung DPRD Simalungun, dulunya adalah pusat pelatihan pertanian yang didirikan atas prakarsanya. Jalan setapak yang menghubungkan sentra perdagangan Perdagangan hingga Tiga Siattar, yang kelak menjadi Pasar Horas Pematangsiantar, diperlebarnya hingga dapat dilalui kereta kuda, membuka akses ekonomi bagi rakyatnya,” tuturnya.
Keberpihakan Sang Naualuh pada inklusivitas juga tercermin dari pendirian rumah adat di Naga Huta sebagai pusat pengkajian agama Islam, sebuah langkah progresif di masanya.
Ia tak segan turun langsung ke perkampungan, memberikan arahan pembangunan dan mengedukasi rakyat tentang pentingnya kebersihan.
Kebijakan “mamahan huda,” yang memberikan hak kepemilikan anak kuda kepada pemeliharanya, bukan hanya memberdayakan rakyat secara ekonomi tetapi juga memperkuat potensi militer kerajaan.
Kata Tuan Ramot, Raja Sang Naualuh juga dikenal sebagai sosok yang inklusif dan berperan penting dalam penyebaran agama Islam di kerajaannya.
Ia menceritakan, saat Datuk Syahilan Saragih, seorang pedagang yang beragama Islam yang berdagang di wilayah pesisir Sumatera Utara bertemu dengan Raja Siantar dari Dinasti Damanik, yaitu Raja Sang Naualuh Damanik, Sang Raja menerima dengan baik kedatangan Datuk Syahilan sehingga Raja tertarik dan memeluk Islam.
Dari sinilah proses awal penyebaran Islam yang dilakukan oleh Raja Sang Naualuh Damanik. Para mubaligh dengan Datuk Syahilan serta Sang Raja, menyebarkan Islam lalu mengembangkan ajaran Islam dengan cara berdagang sambil berdakwah.
“Setelah resmi memeluk Islam, Raja Sang Naulauh Damanik menjadi pionir terdepan dalam menyebarkan Islam di Kerajaan Siantar. Kedudukanya sebagai raja, ia manfaatkan agar menjadi contoh dan panutan bagi seluruh rakyatnya, karena proses berdakwah inilah masyarakat biasa yang masih menganut kepercayaan lokal mengikuti jejak Sang Raja untuk memeluk agama Islam tanpa ada paksaan. Islam adalah agama yang tidak membedakan status sosial, selain itu syarat masuk Islam juga mudah, sehingga banyak orang Simalungun khususnya masyarakat Kerajaan Siantar yang memeluknya,” ungkapnya.
Sang Raja wafat pada 9 Februari 1913 pada usia 42 tahun dan dimakamkan di Bengkalis, dikenang oleh masyarakat setempat sebagai “Raja Batak Islam,” sebuah julukan yang mencerminkan keluasan pandangannya.
Ia menuturkan, ada warisan delapan sifat mulia Sang Naualuh – pengasih, pelayan, jujur, berani, bertanggung jawab, teguh pendirian, saling menghormati, dan saling membangun – terus menginspirasi.
“Di usia muda, dia telah menunjukkan kearifan seorang pemimpin sejati, meletakkan dasar pembangunan Pematangsiantar dan mewariskan teladan keberanian melawan penindasan. Ini bisa menjadi pedoman generasi muda saat ini dari sosok Raja Sang Naualuh,” ujarnya.
Tuan Ramot mengakui, Raja Sang Naualuh Damanik memang diusulkan sebagai pahlawan nasional. Usulan ini telah dilakukan beberapa kali, termasuk pada tahun 2014, 2017, namun belum berhasil.
“Meskipun sudah ada usulan, pengusulan Raja Sang Naualuh Damanik sebagai pahlawan nasional menghadapi tantangan, termasuk masalah kriteria dan lobi politik, dalam artian datanya tidak lengkap, tidak memenuhi persyaratan katanya. Nah, itulah kita kurang tahu kenapa tidak memenuhi persyaratan,” katanya.
Rondahaim Saragih: Benteng Pertahanan Terakhir di Simalungun

Sementara itu, Opung Raminah Garingging, Cicit Tuan Rondahaim Saragih (1828-1891), menceritakan bagaimana leluhurnya menjadi tokoh sentral dalam menghalau masuknya pengaruh kolonial ke wilayah Kerajaan Raya.
Di saat hampir seluruh Sumatera Timur telah dikuasai Belanda, Rondahaim berhasil mempersatukan raja-raja lokal Simalungun seperti merangkul Raja Siantar, Raja Bandar, Raja Sidamanik, Raja Tanah Jawa, Raja Pane, Raja Raya, Raja Purba, Raja Silimakuta, dan Raja Dolok Silou bersatu padu di bawah kepemimpinannya, membentuk barisan pasukan perlawanan yang kuat dan disegani.
Tuan Rondahaim yang bergelar Tuan Namabajan pernah menghadang pasukan Belanda masuk ke Raya Kahean dengan menebang pohon besar hingga melintang di Gunung Simarsopah.
Tempat itu hingga kini dikenal dengan nama Pangolatan atau tempat menghadang Belanda. Gigihnya perjuangan Rondahaim membuat Belanda tidak pernah bisa masuk ke Kerajaan Raya meski sejumlah kerajaan lain di Simalungun sudah berhasil ditaklukan penjajah Belanda.
Baru pada tahun 1901 atau setelah 10 tahun raja Tuan Rondahaim wafat, Belanda melakukan perundingan dengan Tuan Sumayan, atau Raja Tua, putra Tuan Rondahaim.
“Kerajaan Raya menjadi satu-satunya kerajaan di Simalungun yang tidak pernah dikuasi Belanda karena sikap Tuan Rondahaim yang tidak mau tunduk dengan kolonial,” tegas Opung Raminah.
Sehingga, katanya, jasa-jasa Raja Rondahaim telah diakui oleh negara dengan penganugerahan Tanda Kehormatan Bintang Jasa, sebagai Tokoh Provinsi Sumatera Utara, berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 077/TK/TAHUN 1999, tanggal 13 Agustus 1999.
Saat ini, proses pengusulannya sebagai pahlawan nasional dikabarkan telah mencapai tahap akhir dan menunggu keputusan dari Presiden.
“Saat ini berdasarkan informasi yang kami peroleh, pencalonan Tuan Rondahaim sebenarnya sudah dalam tahap menunggu tanda tangan Presiden. Namun, kita sama-sama menunggu prosesnya dalam waktu dekat,” ungkapnya.
Pakar Sejarah Dukung Penuh Pengakuan Kepahlawanan
Pakar sejarah dari Universitas Simalungun (USI), Hisarma Saragih, dengan tegas menyatakan bahwa kedua tokoh tersebut sangat layak untuk diangkat sebagai Pahlawan Nasional.
Menurutnya, jasa dan perjuangan mereka dalam membela masyarakat dan tanah Simalungun dari penjajahan telah memberikan dampak yang signifikan dan terus dikenang hingga saat ini.
“Keduanya dinilai layak menyandang gelar Pahlawan Nasional. Pahlawan adalah orang yang berjasa pada banyak orang, dan sudah melakukan banyak perjuangan. Hasil Perjuangan itu dikenang oleh masyarakat banyak bagi agama, suku, bangsa dan negara,” jelas Hisarma saat dijumpai di ruangannya.
Ia menjelaskan, usulan ini dikuatkan oleh pemerintah daerah Kabupaten Simalungun dan Pematangsiantar, yang telah memenuhi persyaratan teknis sesuai Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.
“Prosesnya dimulai dengan usulan dari masyarakat, kemudian dilakukan verifikasi dan penelitian oleh Tim Peneliti, Pengkaji Gelar Daerah (TP2GD) dan Tim Peneliti, Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP). Setelah memenuhi kriteria, usulan diajukan ke Presiden melalui Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan untuk mendapatkan persetujuan,” tuturnya.
Hisarma juga menyoroti pentingnya pemerintah daerah untuk lebih aktif dalam mengedukasi generasi muda tentang sejarah dan perjuangan tokoh-tokoh lokal seperti Sang Naualuh Damanik dan Rondahaim Saragih melalui kurikulum pendidikan.
Hal ini diharapkan dapat menumbuhkan rasa bangga dan menghargai warisan kepahlawanan di kalangan generasi penerus.
Meskipun dukungan kuat terus mengalir, proses pengusulan pahlawan nasional diakui memiliki berbagai tantangan dan pertimbangan di tingkat nasional.
Hisarma Saragih mengingatkan agar proses pengangkatan pahlawan lebih didasarkan pada nilai-nilai kebangsaan dan sejarah, serta menghindari formalitas dan kepentingan politik kedaerahan semata.
Namun demikian, ia berharap agar Raja Sang Naualuh Damanik dan Raja Rondahaim Saragih segera diakui sebagai Pahlawan Nasional tetap membumbung tinggi di kalangan masyarakat Simalungun.
“Pengakuan ini diharapkan tidak hanya menjadi penghargaan atas jasa-jasa mereka, tetapi juga menjadi inspirasi bagi seluruh bangsa tentang semangat perjuangan dan cinta tanah air,” ujar Hisarma.