Program ini hadir sebagai jawaban atas dua isu krusial: kerusakan ekologis akibat kebiasaan membuang sampah sembarangan dan tantangan sosial ekonomi di tingkat desa.
Simalungun|Simantab – Di tengah tumpukan masalah pengelolaan sampah dan munculnya tempat pembuangan akhir (TPA) ilegal yang meresahkan, secercah harapan muncul dari Kabupaten Simalungun.
Pemerintah daerah melalui Dinas Lingkungan Hidup (DLH) kini tengah menggencarkan sebuah gerakan yang tak hanya bertujuan membersihkan lingkungan, tetapi juga memberdayakan ekonomi masyarakat: pembentukan Bank Sampah di seluruh penjuru nagori (desa).
Program ini hadir sebagai jawaban atas dua isu krusial: kerusakan ekologis akibat kebiasaan membuang sampah sembarangan dan tantangan sosial ekonomi di tingkat desa.
Inisiatif Pemerintah dan Realita di Lapangan
DLH Kabupaten Simalungun secara proaktif melakukan sosialisasi untuk menumbuhkan kesadaran dan partisipasi warga.
“Tim kami terus bergerak untuk mensosialisasikan pembentukan bank sampah di seluruh nagori,” ujar Monardo Sihombing, Kepala Bidang Persampahan DLH Kabupaten Simalungun saat dikonfirmasi. Kamis (18/9/2025).
Hingga saat ini, upaya tersebut telah membuahkan hasil awal.
“Sudah ada empat bank sampah yang memiliki surat keputusan (SK) resmi,” jelas Monardo.
Ia merinci keempatnya tersebar di Nagori Sait Buttu (Kecamatan Pematang Sidamanik), Bungaran (Kecamatan Bosar Maligas), serta di lingkungan Korem 022/Pantai Timur dan Yonif 122/Tombak Sakti.
Namun, di sisi lain, ia menuturkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan gambaran yang lebih detail.
Ia mengatakan, dalam Sistem Informasi Manajemen Bank Sampah (SIMBA), tercatat Kabupaten Simalungun memiliki satu Bank Sampah Induk (BSI) dan tujuh Bank Sampah Unit (BSU). Menariknya, seluruh unit yang terdaftar ini masih terpusat di satu wilayah, yakni Nagori Sait Buttu Saribu, Kecamatan Pematang Sidamanik.
Meskipun penyebarannya belum merata, Morando menegaskan potensi program ini sangat signifikan.
Perlu diketahui, dalam Data SIMBA mencatat total sampah yang telah berhasil dikelola melalui bank sampah di Simalungun mencapai angka fantastis: 2.884.000 kilogram. Angka ini menjadi bukti nyata bahwa jika dikelola dengan benar, sampah bukanlah akhir dari segalanya, melainkan awal dari sesuatu yang lebih bernilai.
Dua Sisi Mata Uang: Harapan dan Tantangan
Pengamat Lingkungan dari Universitas Simalungun, Ramainim Saragih, menyambut baik program ini. Menurutnya, konsep bank sampah adalah solusi cerdas yang menyentuh aspek lingkungan dan sosial secara bersamaan.
“Ya, pastilah kita sambut program seperti ini karena dapat membantu teman-teman di nagori yang penghasilannya kurang ataupun yang tidak berpenghasilan. Ini bisa memberikan mereka pekerjaan,” ungkap Ramainim.
Konsepnya sederhana namun efektif. Warga diajak memilah dan mengumpulkan sampah anorganik seperti plastik, botol, dan kertas, lalu menyetorkannya ke bank sampah. Sebagai gantinya, mereka akan mendapatkan uang atau sembako, layaknya menabung di bank konvensional.
Ia menuturkan konsep jika di salah satu desa, di mana petugas kebersihan hanya berjumlah tiga hingga lima orang, keberadaan bank sampah dapat memberdayakan lebih banyak warga untuk terlibat aktif.
Meski begitu, Ramainim menyoroti tantangan yang tak bisa diabaikan. Keberlanjutan program menjadi kekhawatiran utamanya.
“Kita harus memastikan ke depannya ini bagaimana. Kami berharap tidak hanya sekadar memulai, tapi juga menjaga keberlanjutannya. Modal yang diperlukan harus dikelola dengan baik agar tidak mangkrak di tengah jalan,” tegasnya.
Ia juga menekankan pentingnya sinkronisasi antara fasilitas yang disediakan dengan sistem pengelolaan di lapangan agar program ini dapat berjalan mulus dan efisien.
Kesadaran sebagai Kunci dan Visi ke Depan
Menanggapi tantangan tersebut, Monardo Sihombing dari DLH Simalungun menekankan bahwa kunci utama keberhasilan program ini terletak pada perubahan perilaku dan kesadaran masyarakat. Menurutnya, pemerintah tidak bisa bekerja sendiri.
“Pengelolaan sampah itu bukan tugas saya sendiri. Dari diri kita sebagai masyarakat harus sadarlah dengan sampah. Pangulu (kepala desa) juga harus proaktif,” ungkapnya.
Monardo mencontohkan negara-negara maju di mana kesadaran akan pengelolaan sampah sudah menjadi bagian dari budaya. Ia berharap semangat ini bisa ditularkan di Simalungun.
” Contoh nyata keberhasilan sudah mulai terlihat di Bosar Maligas, di mana warga aktif menjadi nasabah, memilah sampah dari rumah, dan merasakan langsung keuntungan ekonominya,” ungkapnya.
Sesuai Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 14 Tahun 2021, bank sampah memang dirancang sebagai fasilitas untuk mengelola sampah dengan prinsip 3R (Reduce, Reuse, Recycle), sekaligus menjadi sarana edukasi dan penggerak ekonomi sirkular.
Sebagai bentuk dukungan berkelanjutan, DLH Kabupaten Simalungun telah merencanakan langkah konkret berikutnya.
“Jika sudah ada bank-bank sampah nanti, akan kita usulkan untuk diberikan mesin cacah,” tutup Monardo, memberikan sinyal positif bahwa pemerintah siap mendukung program ini hingga ke level industrialisasi skala kecil.
Tak hanya itu, Monardo menambahkan dengan sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan para pemangku kepentingan, gerakan bank sampah di Simalungun berpotensi besar untuk tidak hanya membersihkan lingkungan dari TPA ilegal, tetapi juga membangun fondasi ekonomi baru yang lebih hijau dan berkelanjutan bagi warganya.(Putra Purba)