Munculnya pekerjaan semacam ini adalah cerminan struktur sosial dan ekonomi yang rapuh, khususnya soal keterbatasan lapangan kerja.
Pematangsiantar|Simantab – Di tengah hiruk-pikuk lalu lintas Kota Pematangsiantar, langkah perlahan seorang pria tunanetra tampak menyusuri trotoar. Tangannya menggenggam erat sebuah tongkat kayu dan bahu seorang wanita muda yang setia menemaninya.
Dialah Eka (32) warga Siopat Suhu, yang kini menjadi pemandu pengemis tunanetra sebagai jalan hidupnya.

Eka bukan pengemis, tetapi ia yang membuat pengemis tetap dapat “bekerja.” Hampir setiap pagi sekitar pukul 07.00 WIB, ia sudah bersiap di sebuah persimpangan Jalan Ahmad Yani, Kelurahan Asuhan, untuk menjemput seorang penyandang tunanetra yang menggantungkan hidup dari uluran tangan orang lain.
Dari titik itu, Eka memandu langkah sang pengemis ke berbagai lokasi – mulai dari pasar, pertokoan, hingga lampu merah.
“Kerja saya begini, bawa abang ini jalan, walaupun kami tidak saling kenal dan tidak ada ikatan saudara. Saya jagain jangan sampai jatuh atau ditabrak motor. Kadang orang kira saya juga ikut minta-minta, padahal saya yang nuntun dia,” ujar Eka, Jumat (26/9/2025).
Bagi Eka, pekerjaan ini bukan sekadar pendampingan. Ia harus memastikan si pengemis tiba di lokasi strategis, menjaga ritme langkah, bahkan menyiapkan rute agar hasil hari itu lebih maksimal. Pendapatan Eka bergantung dari hasil yang diperoleh pengemis.
“Kalau ramai bisa dapat Rp300 ribu sehari. Dari situ, bagian saya biasanya Rp30 ribu sampai Rp40 ribu. Ya cukuplah untuk makan dan kebutuhan sekolah anak. Kalau sepi, ya apa boleh buat,” ungkapnya.
Pekerjaan Baru di Jalanan
Fenomena pemandu pengemis tunanetra mungkin terdengar asing, tetapi di kota-kota seperti Pematangsiantar, hal ini mulai tampak. Kehadirannya memunculkan perdebatan: apakah ini wujud solidaritas atau bentuk eksploitasi terselubung?
Eka sudah empat tahun menjalani pekerjaan tersebut setelah tidak lagi bekerja di sebuah pabrik rokok di Pematangsiantar sebagai buruh harian lepas.
“Waktu di pabrik cuma sebentar, enam bulan saja. Habis itu tidak dipanggil lagi. Mau cari kerja lain susah, akhirnya ya begini-begini saja,” tuturnya.
Menurut Eka, tindakannya bukanlah bentuk pemanfaatan terhadap penyandang disabilitas, melainkan cara untuk saling menolong.
“Kalau tidak ada saya, abang itu tidak bisa jalan. Jadi ya sama-sama menolong,” katanya.
Meski usianya masih produktif, Eka mengaku tidak malu. Baginya, pilihan ini lebih realistis ketimbang menganggur.
“Daripada duduk-duduk tidak jelas, lebih baik kerja apa saja yang penting halal. Saya juga membantu suami yang bekerja sebagai tukang bentor untuk menghidupi anak-anak sekolah,” ujarnya.
Pengamat: Lapangan Kerja yang Rapuh
Pengamat sosial, Agus Suriadi, menilai fenomena pemandu pengemis tunanetra tidak bisa dipandang sederhana.
Menurutnya, munculnya pekerjaan semacam ini adalah cerminan struktur sosial dan ekonomi yang rapuh, khususnya soal keterbatasan lapangan kerja.
“Dalam situasi seperti itu, pekerjaan seperti pemandu pengemis buta muncul sebagai jalan keluar instan. Tidak perlu modal besar, tidak butuh keterampilan khusus, hanya keberanian dan kedekatan dengan pengemis yang sudah beroperasi,” jelas Agus, Sabtu (27/9/2025).
Ia menegaskan bahwa tingginya angka pengangguran menjadi akar persoalan. Alih-alih terserap ke sektor formal, masyarakat kecil akhirnya mencari ruang hidup di jalur yang tidak pernah terbayangkan sebagai profesi.
“Ini bukan sekadar kreativitas masyarakat bawah, melainkan tanda adanya ketimpangan serius dalam distribusi kesempatan kerja,” ujarnya.
Agus juga mengingatkan bahwa fenomena ini berpotensi memunculkan pola ekonomi bayangan di perkotaan. Pekerjaan ini, katanya, adalah bentuk survival economy atau ekonomi bertahan hidup.
“Di tengah sulitnya mencari kerja, bahkan kegiatan seperti mengantar pengemis bisa berubah menjadi profesi. Itu menandakan betapa terbatasnya pilihan yang tersedia,” tambahnya.
Menurutnya, pekerjaan ini menghadirkan paradoks: di satu sisi memberi ruang solidaritas, namun di sisi lain memperlihatkan lemahnya negara menyediakan solusi.
“Selama lapangan kerja formal tidak terbuka dan angka pengangguran tinggi, pekerjaan unik seperti ini akan terus bermunculan. Itu bukan karena masyarakat menginginkannya, melainkan karena mereka tidak punya pilihan lain. Pertanyaan besarnya, sampai kapan rakyat harus mencari makan dengan cara yang sebenarnya tidak manusiawi?” tutup Agus.
Realitas yang Terus Berjalan
Bagi Eka, kritik dari tetangga maupun sanak saudara sudah biasa ia dengar. Baginya, pekerjaan ini adalah soal bertahan hidup.
“Mau bagaimana lagi, bang? Kerja lain susah. Yang penting perut kenyang, abang itu juga bisa makan. Kami sama-sama jalan terus,” ujarnya sambil menyalakan sebatang rokok kretek.
Meski begitu, ia enggan menjawab ketika ditanya apakah pekerjaan tersebut dikoordinasi pihak tertentu yang mengatur wilayah, lokasi mangkal, bahkan pembagian hasil.
Di tengah riuh kota dan padatnya lalu lintas, langkah kecil itu terus beriringan. Seorang pemandu dan seorang pengemis tunanetra – dua manusia yang dipertemukan oleh keterbatasan, sekaligus oleh kebutuhan untuk bertahan hidup di kota yang kian keras.(Putra Purba)