Bagi warga, isu ini bukan sekadar persoalan bisnis, melainkan menyangkut sejarah, ekologi, dan keberlangsungan hidup masyarakat lokal.
Simalungun|Simantab – Hamparan hijau kebun teh yang selama puluhan tahun menjadi identitas Kabupaten Simalungun kini dihadapkan pada ancaman serius. Rencana konversi kebun teh Bah Butong di Sidamanik menjadi kebun kelapa sawit oleh PTPN IV memicu gelombang protes dari berbagai elemen masyarakat.
Bagi warga, isu ini bukan sekadar persoalan bisnis, melainkan menyangkut sejarah, ekologi, dan keberlangsungan hidup masyarakat lokal.
Sejarah dan Ancaman Konversi
Teh telah lama menjadi denyut nadi ekonomi dan warisan budaya di Simalungun. Namun rencana konversi lahan seluas 257 hektare di Nagori Bah Butong II dan Nagori Kebun Sayur dikhawatirkan merobek ikatan tersebut.
Camat Sidamanik, Juliana Fenan Simarmata, membenarkan adanya sawit yang sudah tumbuh di areal HGU perkebunan teh Sidamanik. “Sudah ada sawit sedikit, sudah besar. Kita tidak tahu itu percobaan atau apa, yang jelas itu milik PTPN IV Kebun Sidamanik, terdapat di Afdeling 13 dan 15,” jelasnya, Kamis (11/9/2025).
Juliana mengaku pihaknya sempat diundang dalam pertemuan singkat bersama PTPN IV, Dinas Pertanian, dan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Simalungun. Namun, belum ada keputusan resmi maupun berita acara.
Sorotan Publik dan Indikasi Pelanggaran
Ketua Solidaritas Tungkat Nagori Seluruh Indonesia Berdaulat (SATUNASIB), Donal Haromunthe, menilai proses konversi tidak transparan.
“Tanah ini semestinya mendukung kebutuhan rakyat, bukan sekadar kepentingan industri. Pemerintah harus berpihak pada rakyat,” tegasnya.
Donal menyebut temuan di lapangan semakin menguatkan dugaan, karena bibit sawit sudah mulai ditanam sejak tiga tahun lalu di areal HGU perkebunan teh Sidamanik.
Gelombang Aksi Penolakan
Puncak penolakan terjadi saat ribuan massa dari Sidamanik, Dolok Pardamean, dan Panei menggelar long march pada 7 September 2025. Menurut Donal, aksi ini bukan hanya unjuk rasa, tetapi juga ajakan agar pemerintah segera bertindak tegas.
“Perjuangan ini bukan hanya untuk hari ini, melainkan untuk generasi mendatang. Kami bersatu mempertahankan tanah ini,” katanya.
Dampak yang Sudah Terasa
Alex Manik (32), warga Dolok Pardamean, mengaku sudah merasakan dampak negatif konversi. “Sejak kebun teh di sekitar kami diganti sawit, air minum jadi sulit,” ungkapnya.
Ia khawatir kondisi itu akan berlanjut dengan banjir, berkurangnya debit air, bahkan mengancam wisata pemandian di kawasan tersebut.
Ketua Komisi I DPRD Simalungun, Perikson Purba, mengatakan pihaknya tengah berupaya membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk menelusuri persoalan ini. “Kita masih mendorong hal ini segera dilaksanakan,” katanya singkat.(Putra Purba)