Pearaja – Banjir bandang yang terjadi pada 13 Mei 2021 sekitar pukul 17.00 WIB di Parapat, Simalungun, Sumatera Utara merupakan dampak dari penurunan kualitas lingkungan hidup dan hutan di sekitar Danau Toba.
Banjir bandang serupa sudah terjadi beberapa kali, seperti pada Desember 2018, Februari 2019, Juli 2020, yang mengakibatkan kerugian material di pihak masyarakat, termasuk terganggunya arus lalu lintas di daerah tersebut.
Berdasarkan investigasi Komite Gereja dan Masyarakat (KGM) HKBP dengan mitranya atas rentetan peristiwa tersebut, bahwa banjir-banjir bandang ini memiliki kaitan yang erat dengan aktivitas penebangan hutan di Sitahoan dan kawasan hutan Sibatuloting, baik untuk kepentingan hutan tanaman industri (penanaman eukaliptus), pemanfaatan kayu dan hasil hutan oleh para pengusaha lokal, ditambah oleh aktivitas pertanian masyarakat dalam skala yang jauh lebih kecil.
Di Sualan sampai Tanjung Dolok, Parapat, terdapat sejumlah aliran sungai yang sumber airnya berasal dari Sitahoan dan Kawasan Hutan Sibatuloting.
Kini, bila hujan deras terjadi, sungai-sungai kecil ini akan meluap dan membawa material lumpur dan bebatuan yang sangat mengancam, seperti yang sudah terjadi berulang kali, sebagaimana disebutkan di atas. Jika degradasi hutan terus berlangsung, banjir bandang di kawasan ini akan semakin sering terjadi.
HKBP juga siap bekerja sama dengan pemerintah pusat dan daerah untuk menjadi mitra menjaga lingkungan hidup dan hutan
Sebagai danau vulkanik, secara umum struktur tanah di sekitar Danau Toba adalah tanah berpasir dan bebatuan dan topografinya berbukit-bukit. Fakta tersebut mengingatkan semua pihak akan besarnya potensi bencana serta terpanggil untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup dan hutan.
Sesuai dengan Konfessi HKBP 1996 Pasal 5 tentang Kebudayaan dan Lingkungan, HKBP mempercayai bahwa Allah menciptakan manusia dengan tempat tinggalnya dan tempatnya bekerja di dunia ini.
BACA JUGA
Allah memberikan kuasa kepada manusia untuk memelihara dunia ini dengan tanggung jawab penuh (Kej. 2: 5-15). HKBP menyaksikan tanggung jawab manusia untuk melestarikan semua ciptaan Allah (Mzm. 8: 4-10); menentang setiap kegiatan yang merusak lingkungan, seperti membakar dan menebang pohon di hutan atau hutan belantara (Ul. 5:15, 21; Ul. 19-20).
“Menjaga kelestarian lingkungan hidup dan hutan yang berkesinambungan adalah panggilan kita sebagai warga gereja,” demikian disampaikan Ephorus HKBP Pdt Dr Robinson Butarbutar
HKBP kata Ephorus, mendesak pemerintah pusat dan daerah, swasta, serta masyarakat agar sesegera mungkin melakukan langkah-langkah konkret untuk menyelamatkan lingkungan hidup dan hutan di sekitar Danau Toba.
Pemeliharaan lingkungan hidup dan hutan adalah faktor penting keberhasilan dan keberlanjutan pembangunan infrastruktur dan aneka fasilitas umum yang dibangun pemerintah pusat akhir-akhir ini di sekitar Danau Toba sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional, yang diharapkan membawa perbaikan kesejahteraan bagi rakyat.
Lebih lanjut kata Ephorus, pemerintah pusat dan daerah perlu mengkaji kebijakan yang lebih spesifik untuk menghentikan laju deforestasi, memberi sanksi tegas sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku kepada setiap pihak yang merusak alam, serta mengembalikan fungsi hutan di sekitar Danau Toba sebagai hutan alam untuk menyangga kelestarian dan keindahan Danau Toba, flora dan fauna, serta kesejahteraan masyarakat.
“HKBP berkomitmen untuk menolong korban bencana alam. HKBP juga siap bekerja sama dengan pemerintah pusat dan daerah untuk menjadi mitra menjaga lingkungan hidup dan hutan, sekaligus mendorong dan mengapresiasi program reboisasi yang ramah lingkungan, terencana, dan konsisten,” katanya.()