Simantab, FB Rado Damanik II – Tentang tanah ulayat, tanah leluhur, tanah kerajaan atau di Simalungun dikenal dengan tanah “partuanon” menjadi sebuah topik yang hangat diperbincangkan saat ini.
Mungkin berakhirnya masa pakai oleh perkebunan dalam bentuk Hak Guna Usaha menjadi penyebab utama topik ini menjadi sebuah topik yang banyak dibahas. Siapa yang berhak atas tanah tanah tersebut?
Rado Damanik seorang penggiat budaya dan merupakan keturunan dari Raja Siantar sangat concern terhadap isu isu pertanahan ini. berikut adalah salah satu ulasan yang dibagikannya di akun facebooknya.
Hukum tanah di Tapanuli, Simalungun, dan Karo
Alinoedin Enda Boemi
1925, Leiden, 170 halaman.
Saya sedang membaca buku yang ditulis tahun 1925 ini menyangkut hukum atas tanah, salah satunya di Simalungun. Saya telah melingkarinya dan mencoba menterjemhakan setiap paragraf dan halaman yang membahas hukum tanah di Simalungun. Buku yg saya baca ini adalah disertasi yang diterbitkan nyaris bersamaan dengan Tideman. Namun, Enda Bumi, banyak membantah Tideman menyoal hukum tanah di Simalungun.
Mengapa saya membaca buku ini, ialah menambah pengetahuan atas hukum adat tanah, setidaknya 20 tahun pasca pendudukan kolonial di Simalungun. Kemudian, hasil pembacaan ini akan dituangkan pada prolog ataupun pendahuluan kritis atas buku yg akan saya terbitkan di November nanti.
Buku itu adalah hasil penelitian tahun 1984 dalam rangka proyek Pelita. Laporan ini telah diketik oleh mahasiswaku dan sedang saya rapikan dalam layout. Buku ini kelak menjadi referensi luas tentang hukum adat atas Ulayat tanah di Simalungun.
Maksud prolog di depan buku adalah memberikan catatan kritis atas peralihan tanah-tanah Ulayat yg dikonsesikan, lalu direbut paksa dan berdarah, dan kemudian di take over ke negara. Setidaknya, di prolog nanti digambarkan bagaimana hukum adat atas Ulayat tanah di Simalungun sebelum lahirnya “De Agrarische Wet 1870”, yang menjadi entrypoint meluasnya perkebunan di Simalungun.
Penjajahan di Simalungun sejak 1903, mengalihkan tanah Ulayat menjadi milik raja sejalan Agrarische Wet melalui Hak Erpacht (Hak Guna Usaha) dengan kewenangan hak Eigendom (hak milik) selama 75 tahun yg dapat di wariskan atau diagunkan. Sejak tahun 1903 itu hak Ulayat atas tanah pun memudar.
Pasca revsos, bermunculan penyerobot tanah di Simalungun, termasuk “Gerobak Pasir” dan sejumlah imigran tetap di Simalungun.
Buku Enda Boemi ini menjelaskan 6 hukum atas tanah di Simalungun. Ke enam itu sudah dijelaskan TBA tambak dalam bukunya tahun 1976 ataupun dicatat lagi oleh Saragih dkk tahun 1984. Dalam semua buku ini, terutama Enda Boemi, tanah-tanah di Simalungun, sebelum terbitnya Agrarische Wet 1870, ataupun sebelum pendudukan kolonial Belanda sejak 1903, semua tanah di Simalungun adalah Ulayat adat atas raja, dan parbapaan. Spesifik, Ulayat dimaksud adalah tanah kerajaan. Penduduk hanya memperusahai.
Tanah kerajaan, sesuai dengan klan di Simalungun adalah Damanik di Siantar dan partuanonnya mulai Sipolha, Sidamanik, Nagahuta, Bandar, Sarbelawan, Gunung Malela, Marihat hingga Bandarpulo. Demikian halnya klan lain seperti dasuha di Panei, garingging di raya, purba di purba, Girsang di Silimahuta, Sinaga di tanohdjawa, maupun tambak di Silou. Semua itu adalah clan kingdom, yakni penguasa atas tanah. Jadi, klan-klan tersebut adalah pemilik atau Ulayat atas tanah di daerahnya. Rakyat, termasuk imigran tidak memiliki tanah kecuali memperusahai.
Jadi, upaya mendakukan tanah di Sihaporas, termasuk sipanganbolon adalah penyerobotan. Sekaligus, statemen beberapa figur yg menyatakan bhwa Simalungun tidak punya tanah Ulayat adalah penyesatan.
Sumber resmi tulisan ini, klik link berikut ini: (19) Rado Damanik II | Facebook