Ijasah palsu sedang naik daun. Menjadi topik bahasan yang paling hot saat ini. Bukan karena ada pemilik ijasah asli yang keberatan tetapi ada yang curiga itu tidak asli.
Tentang ijasah palsu memang selalu menjadi persoalan. Bahkan seorang Jokowi yang pernah jadi walikota, gubernur bahkan saat ini menjadi Presidenpun dicurigai menggunakan ijasah palsu.
Menuduh palsu tetapi tidak memiliki yang asli. Ini adalah sebuah realitas. Justifikasi bahwa ijasah seseorang adalah palsu tentu saja mengarah kepada pembunuhan karakter seseorang.
Asas hukum, “actori incumbit probatio, actori onus probandi”, artinya siapa yang mendalilkan, dia yang membuktikan tidak berlaku dalam kasus ini.
Karena orang yang mendalilkan senantiasa menuntut yang bersangkutan yang dituduh untuk membuktikan keasliannya.
Dan tentu saja, kepala dinas bidang pendidikan menjadi pihak yang dituntut untuk menjawab tudingan tentang asli atau palsunya ijasah seseorang.
Dan carut marut tentang ijasah palsu ini terus berulang. Sebenarnya kemendikbud sudah menyediakan sarana untuk itu. Disebut dengan verifikasi dan validasi ijasah lulusan sekolah hingga perguruan tinggi.
Tapi sedikit pihak yang ingin memanfaatkan sarana ini. Sebagian pihak ingin memilih jalur cepat yakni menunggu konfirmasi dari pihak yang dituding punya ijasah palsu.
Keberpihakan dimulai ketika memilih nara sumber pemberitaan. Cover both side menjadi barang mahal dalam pemberitaan tentang ijasah palsu.
Cover both side mensyaratkan adanya dua sudut pandang. Dua sudut pandang tentang ijasah palsu tentu saja mensyaratkan adanya ijasah yang asli dan adanya ijasah yang palsu.
Atau mensyaratkan adanya narasumber yang menyatakan asli dan narasumber yang menyatakan palsu. Atau secara sederhana, insan pers tidak secara buru buru melakukam pemberitaan sebelum mendapat klarifikasi dari pemilik ijasah atau dinas terkait dengan itu.
Dewan Pers sebagai pihak yang diberikan tugas dan kewenangan untuk melakukan penilaian terhadap karya jurnalistikpun keteteran dalam melakukan fungsinya.
Dan saat ini, beredar isu tentang ijasah seorang caleg terpilih di Kota Pematangsiantar yang dituduh menggunakan ijasah palsu dalam pencalonannya.
Dan koran simantab mengirimkan Permohonan Informasi kepada Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Kota Pematangsiantar dan PPID Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) tentang ijasah sang caleg.
Dan sebagai jurnalis tentu saja, simantab tidak berharap bahwa yang bersangkutan menggunakan ijasah palsu.
Mau palsu atau asli, apa untung dan ruginya. Biarlah waktu dan yang berwenang yang menjawabnya.