Job Fair Pematangsiantar 2025 menghadirkan 35 perusahaan dengan 600 lowongan. Namun, berbagai masalah pencocokan kerja dan isu kepercayaan publik mendorong pemerintah memperbaiki sistem rekrutmen agar lebih transparan dan efektif.
Pematangsiantar|Simantab – Pemerintah Kota Pematangsiantar melalui Dinas Ketenagakerjaan akan menggelar Job Fair pada 19–20 November 2025 di Aula Universitas HKBP Nommensen. Sebanyak 35 perusahaan dari sektor kesehatan, jasa keuangan, perdagangan, perhotelan, hingga industri membuka 600 lowongan pekerjaan bagi masyarakat.
Antusiasme publik tinggi, namun berbagai evaluasi dari penyelenggaraan sebelumnya menjadi sorotan. Kepala Bidang P3TK Disnaker Pematangsiantar, Elin Sayuti, mengakui pelaksanaan job fair belum selalu berjalan maksimal.
“Masalah job fair bukan hanya teknis. Ada perubahan komitmen perusahaan, ketidaksesuaian kualifikasi pelamar, dan koordinasi yang belum stabil. Semua saling berkaitan,” ujarnya, Senin (17/11/2025).

Menurut Elin, persoalan utama bukan pada banyaknya peserta, melainkan lemahnya mekanisme pencocokan. Banyak pelamar datang tanpa memahami kualifikasi, sementara beberapa perusahaan mengubah jenis lowongan mendadak.
Job fair tahun ini, lanjutnya, menjadi momentum perbaikan. Disnaker akan menerapkan pre-matching, pengelompokan lowongan per sektor, serta layanan konsultasi karir untuk mempersiapkan pelamar sebelum bertemu perusahaan.
“Kami ingin job fair bukan hanya ramai, tetapi tepat sasaran. Karena itu kami terapkan pra-event seperti pre-matching dan konsultasi karir,” katanya.
Di sisi lain, suara masyarakat menunjukkan kekhawatiran lebih dalam. Salah satu pencari kerja, R. Tampubolon (25), menilai job fair kerap dianggap formalitas.
“Sering terasa hanya acara seremonial. Banyak perusahaan memakai sistem outsourcing, jadi warga merasa peluangnya sudah diarahkan ke pihak ketiga. Berkas lamaran rasanya tidak menentukan apa pun,” ujarnya.
Ia juga menyoroti kekhawatiran soal praktik “titipan”.
“Masyarakat takut ada pelamar titipan. Itu membuka ruang pungli. Kalau ada orang dalam, pelamar tanpa relasi merasa tidak punya kesempatan,” tegasnya.
Warga Simarito, Kecamatan Siantar Barat itu berharap pemerintah memperbaiki kepercayaan publik.
“Kalau Pemko bisa memastikan prosesnya transparan, masyarakat pasti kembali percaya. Harapan kami sederhana: peluang kerja harus adil,” katanya.
Sementara itu, pengamat ekonomi dari Universitas Sumatera Utara, Wahyu Ario Pratomo, melihat persoalan job fair sebagai tanda ekosistem ketenagakerjaan daerah yang belum matang.
“Job fair akan gagal kalau tidak berbasis data dan tidak transparan. Pelamar harus tahu lowongan itu nyata, perusahaan yakin dapat kandidat, dan pemerintah menjamin integritas proses,” ujarnya.
Ia menyarankan pembaruan sistem mulai dari platform digital untuk unggah CV, sistem antrean terjadwal, hingga model speed-hire agar proses penilaian lebih efisien.
“Kepercayaan publik hanya pulih jika sistem bisa diuji dan tidak memberi ruang manipulasi,” katanya.
Wahyu juga menekankan pentingnya pemetaan industri, tren kebutuhan tenaga kerja, dan proyeksi lapangan kerja agar job fair tidak sekadar menjadi acara tahunan.
Menurutnya, dinas harus memastikan perusahaan benar-benar membuka rekrutmen dan pelamar memiliki kompetensi relevan. Penyelarasan kebutuhan industri dan kapasitas tenaga kerja lokal harus menjadi fondasi utama.
Dengan partisipasi 35 perusahaan pada tahun ini, Wahyu menyebut potensi hasilnya besar, tetapi hanya akan optimal jika sistem pendukung diperbaiki.
“Pelatihan pra-event, penilaian cepat seperti speed-hire, dan platform digital sangat penting. Reformasi kecil bisa berdampak besar,” katanya.
Menjelang pelaksanaan November nanti, harapan publik kembali tumbuh. Pemerintah menargetkan job fair bukan sekadar panggung pertemuan, tetapi ruang pencocokan peluang kerja yang nyata dan terukur. Bagi para pencari kerja, hasilnya adalah lebih dari sekadar acara—melainkan masa depan yang dipertaruhkan.(Putra Purba)






