Opini, Sebuah otokritik terhadap profesi pers. Profesi yang saat ini saya, kamu dan mungkin kita jalani dalam kehidupan ini. Pers yang hari ini dibekali segala proteksi hingga mampu untuk membangun narasi yang keras untuk meruntuhkan sebuah kezaliman atau perbuatan sewenang wenang. Otokritik ini disusun untuk menyambut Hari Pers Indonesia.
Pers pasca tumbangnya orde baru telah memperoleh kemerdekaannya. Pers hari ini adalah pers dengan segala jenis proteksinya. Dimana pers yang diharapkan hadir di Indonesia dimasa reformasi ini adalah pers yang independen bukan pers yang menghamba pada kekuasaan.
Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers adalah produk yang dihasilkan dimasa awal reformasi yang memberikan perlindungan kepada pekerja pers dalam menjalankan aktivitasnya. Undang Undang tersebut memberikan hak hak kepada pers seperti hak tolak yaitu hak wartawan untuk mempertanggungjawabkan pemberitaannya didepan hukum.
Namun seperempat abad sudah, apakah pers Indonesia sudah memberikan kontribusi dalam perlindungan kepada masyarakat? atau jangan jangan pers dimasa reformasi adalah pers yang terjebak dalam oligarki layaknya oligarki politik di Indonesia?
Fadli zon di akun twitternya @fadlizon menulis sebuah tulisan dengan judul: “Oligarki dalam Industri Media Menurunkan Kualitas Demokrasi” yang dipublikasinya pada hari Rabu, 9 Februari 2022.
Isu oligarki dalam industri media perlu diangkat
Oligarki dalam industri media bukan hanya mempengaruhi kualitas jurnalisme tetapi juga kualitas demokrasi di negeri kita.
Fadli Zon – Anggota DPR RI Komisi IX
Bagaimana Dengan Pers Di Daerah
Hari Pers Nasional yang hari ini kita peringati sebagai sebuah hari kelahiran jurnalisme Indonesia tentu saja harus dimaknai sebagai intropeksi dan perubahan diri. Ketika pers secara nasional menurut fadli zon mengarah kepada oligarki layaknya oligarki politik, maka perlu juga memaknai perilaku pelaku pelaku pers dalam skala yang lebih kecil yaitu media online yang menjamur bak kacang goreng..
Kehadiran media online hari ini sangat menjamur dimana disetiap kabupaten kota di Sumatera Utara misalnya tercatat ratusan media online. Kota Siantar misalnya mencatat 123 media online yang hadir dan memberikan informasi ke masyarakat. Begitu juga dengan Kabupaten Simalungun yang mencatat sekitar 86 media online.
Dan tentu saja dari begitu banyak media media online tersebut hanya terdapat beberapa yang sudah menyelesaikan verifikasi faktual di dewan pers. Dan yang lebih berbahaya lagi, hanya beberapa media yang memiliki kantor dan plank nama.
Jika kita melihat dari sisi jurnalis yang terlibat di perusahaan pers di Siantar hanya terdapat 32 wartawan yang sudah mengikuti Uji Kompetensi Wartawan (UKW) mulai dari tingkat kualifikasi muda, madya dan utama.
Tentu saja hal ini berimplikasi kepada tingginya komplain dari masyarakat hingga institusi pemerintah terhadap keberadaan pers di Siantar Simalungun. Pers harus mampu memperjuangkan dirinya sendiri terutama memperjuangkan pemenuhan hak hak pekerja media dari perusahaan tempatnya bernaung.
Bagi perusahaan pers harus mampu menjawab sebuah pertanyaan, apakah sudah menggaji wartawannya sesuai dengan UMR ? Sudahkah memberikan wartawannya jaminan sosial dan tenaga kerja seperti pendaftaran di BPJS ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan? Atau kita yang terlampau asyik melakukan pemberitaan tentang sebuah korporasi yang lalai membayar hak karyawannya di portal berita kita, namun kita lupa ternyata kitapun belum mendapat hak sesuai dengan yang ditetapkan?
Sikap kita pelaku media yang sering abai terhadap pemenuhan hak hak karyawan berdasarkan Undang Undang Pers yang membuat suburnya keberadaan wartawan tansani atau wartawan tanduk sana tanduk sini.
Inilah kita … hari ini …
Tulisan ini tidak hanya didedikasikan kepada orang lain, namun ini lebih kepada diri sendiri dan perusahaan sendiri, Bravo pers indonesia, bersuaralah meskipun perut sering keroncongan