Ketua DPD Partai Golkar Simalungun, Timbul Jaya Sibarani, menyoroti dampak jangka panjang kehadiran Rocky Gerung.
Simalungun|Simantab – Kehadiran Rocky Gerung di Kabupaten Simalungun menyulut diskusi hangat. Dikenal sebagai filsuf politik dengan gaya komunikasi blak-blakan, Rocky kerap memantik kontroversi melalui kritiknya.
Pernyataannya yang pernah menyebut Presiden Joko Widodo sebagai “bajingan tolol” dan menilai Prabowo Subianto “menyesatkan” menimbulkan reaksi beragam, termasuk di kalangan elite politik lokal.

Bagi sebagian pihak, Rocky adalah simbol keberanian dalam menyuarakan kritik terhadap kekuasaan. Namun, bagi yang lain, gaya komunikasinya dianggap kasar dan berpotensi merusak tatanan politik yang sehat. Pandangan ini pun tercermin dari tokoh-tokoh di Simalungun yang menanggapi kehadirannya dengan sudut pandang berbeda.
Nasdem: Harapan pada Ruang Demokrasi Baru
Benhard Damanik, Anggota Komisi III DPRD Simalungun, melihat sisi positif dari kehadiran Rocky. Menurutnya, tokoh kritis seperti Rocky dapat membuka ruang diskusi publik yang lebih luas.
“Rocky datang sebagai pakar filsafat dan politik. Kehadirannya saya harapkan bisa membawa suasana politik yang lebih baik, bukan hanya untuk hari ini, tetapi juga untuk masa depan. Semangat Baru Indonesia (SBI) sebagai pengundang punya peran penting menghadirkan tokoh yang bisa menggerakkan pikiran masyarakat,” ujar Benhard, Sabtu (27/9/2025).
Benhard menilai gaya Rocky yang frontal seharusnya tidak hanya dilihat dari kata-katanya yang keras, tetapi juga dari substansi kritiknya.
“Kalau publik mampu menangkap maksud di balik kritiknya, justru itu bisa menjadi vitamin politik. Masyarakat bisa belajar lebih berani bersuara, tidak hanya pasif menerima narasi dari elite,” tambahnya.
Politisi asal Partai Nasdem ini menegaskan pentingnya kehadiran tokoh seperti Rocky agar masyarakat terbiasa melihat politik bukan hanya soal figur, tetapi juga gagasan.
“Kalau kita terus-menerus sibuk dengan politik figur, masyarakat akan tetap pasif. Tapi kalau terbiasa mendengar pandangan yang berbeda, itu akan mendidik publik menjadi pemilih yang cerdas,” tutupnya.
Gerindra: Dilema Politik Lokal
Berbeda dengan Benhard, Wakil Ketua II DPRD Simalungun, Bonauli Rajagukguk, menyuarakan pandangan lebih kritis. Sebagai kader Gerindra, ia mengaku ucapan Rocky sempat meninggalkan luka.
“Tidak bisa dipungkiri, ketika Rocky mengatakan Pak Prabowo menyesatkan, itu menyinggung perasaan kader kami. Bagaimanapun, Prabowo adalah simbol utama Gerindra sekaligus Presiden Republik Indonesia. Jadi wajar kalau pernyataan itu dianggap melukai,” ujar Bonauli.
Meski begitu, Bonauli menyadari kehadiran Rocky tidak bisa sepenuhnya ditolak. Menurutnya, Simalungun sebagai bagian dari demokrasi nasional tetap harus memberi ruang pada perbedaan pandangan.
“Kami tidak menutup ruang kritik. Namun pertanyaannya: apakah kritik itu membangun atau justru menyesatkan publik? Kalau Rocky datang hanya membawa narasi penuh amarah, saya khawatir masyarakat akan bingung. Itu bisa merusak kepercayaan pada politik, khususnya terhadap Gerindra,” tegasnya.
Bonauli menambahkan, masyarakat lokal memiliki cara pandang khas. Kehadiran tokoh luar dengan gaya bicara keras bisa saja diterima, tetapi juga berpotensi menimbulkan jarak.
“Kalau tidak hati-hati, publik bisa merasa diprovokasi, bukan dididik. Itu yang harus kita waspadai,” katanya.
Namun, ia tetap mengingatkan agar masyarakat tidak sekadar terpukau oleh gaya Rocky, melainkan belajar menyaring isi pesannya.
“Kehadiran Rocky harus kita lihat sebagai ruang edukasi. Tetapi masyarakat juga harus lebih matang, jangan sampai terjebak pada sensasi bahasa. Yang lebih penting adalah substansi gagasannya, membangun politik yang sehat dan berpihak pada rakyat,” ujarnya.
Golkar: Antara Edukasi Politik dan Provokasi
Ketua DPD Partai Golkar Simalungun, Timbul Jaya Sibarani, menyoroti dampak jangka panjang kehadiran Rocky. Ia menilai kritik adalah bagian penting dari demokrasi, tetapi harus ada batas antara kritik dengan penghinaan.
“Rocky itu magnet politik, tidak bisa dipungkiri. Kehadirannya selalu menarik perhatian publik. Tapi pertanyaannya, apakah kritik yang ia lontarkan mendidik masyarakat atau justru memecah belah?” katanya.
Menurut Timbul, masyarakat di Sumatera Utara masih sangat menghormati figur pemimpin. Kata-kata kasar bisa memicu resistensi, bahkan polarisasi baru.
“Kalau yang disampaikan hanya cacian, itu tidak sehat. Masyarakat kita butuh kritik yang mengajarkan, bukan yang membuat saling membenci. Politik lokal jangan dijadikan ajang untuk menanam kebencian,” tegasnya.
Meski begitu, Ketua Komisi D DPRD Sumatera Utara ini juga mengakui sisi positif gaya Rocky. Menurutnya, masyarakat bisa belajar untuk lebih kritis dan tidak sekadar menelan mentah-mentah narasi dari elite.
“Kalau masyarakat bisa menyaring, tentu kehadiran Rocky bisa jadi ruang edukasi. Tapi kalau tidak, justru berbahaya. Jadi kuncinya ada di kemampuan publik memahami konteks kritik yang disampaikan,” jelasnya.
Kontroversi yang Menghidupkan Demokrasi Lokal
Kehadiran Rocky Gerung di Simalungun jelas meninggalkan kesan mendalam. Bagi sebagian pihak, ia adalah pengingat bahwa kritik adalah vitamin demokrasi. Namun, bagi yang lain, ia adalah ancaman yang bisa merusak citra partai dan meracuni opini publik.
Satu hal yang pasti, Rocky berhasil membuat politik di Tanoh Habonaron do Bona kembali menjadi bahan perbincangan hangat. Kehadirannya memperlihatkan bahwa demokrasi bukan hanya soal dukungan elektoral, tetapi juga soal bagaimana masyarakat belajar menimbang antara kritik, provokasi, dan harapan akan perubahan.(Putra Purba)