Dalam buku Sosiologi Lingkungan Hidup karya Suharko, dijelaskan bahwa kemarau basah ini merupakan bentuk anomali cuaca yang terjadi akibat pemanasan global.
Jakarta|Simantab – Indonesia tengah dilanda iklim yang tak menentu. Meskipun di sejumlah tepat masuk dalam musim kemarau, tapi hujan tetap saja turun. Belakangan, banyak menyebutnya dengan kemarau basah.
Dalam buku Sosiologi Lingkungan Hidup karya Suharko, dijelaskan bahwa fenomena ini merupakan bentuk anomali cuaca yang terjadi akibat pemanasan global.
Hal serupa diungkap Budi Susilo dalam buku Mengenal Iklim dan Cuaca di Indonesia. Yang menyebut kemarau basah identik dengan tingginya curah hujan di tengah musim kemarau. Khususnya di wilayah selatan ekuator seperti Indonesia.
La Nina dan Cuaca Tak Menentu
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menjelaskan, fenomena ini erat kaitannya dengan kondisi La Nina—yakni pendinginan suhu muka laut di kawasan Pasifik Tengah dan Timur, yang biasanya diikuti penguatan angin pasat.
Kondisi ini menyebabkan peningkatan suplai uap air yang memicu terbentuknya awan hujan. Sehingga curah hujan meningkat meski berada di musim kemarau.
Dalam publikasi Klima Edisi VI 2022, BMKG menegaskan bahwa La Nina memang mampu memicu anomali iklim secara global. Termasuk mendorong terjadinya kemarau basah di Indonesia.
BMKG menyebut, transisi La Nina menuju fase netral masih memberikan dampak terhadap cuaca di Tanah Air.
“Wilayah-wilayah ini diprediksi akan menerima akumulasi curah hujan musiman yang lebih tinggi dari biasanya,” tulis BMKG dalam Prediksi Musim Kemarau 2025 di Indonesia.
Curah Hujan di Musim Kemarau Melebihi 100 mm
Secara klimatologis, musim kemarau di Indonesia biasanya ditandai dengan curah hujan kurang dari 50 milimeter per bulan.
Namun, dalam kemarau basah, curah hujan bisa mencapai lebih dari 100 milimeter.
BMKG mencatat bahwa sebanyak 185 Zona Musim (ZOM), atau sekitar 26 persen wilayah Indonesia, diprediksi akan mengalami musim kemarau. Dengan sifat lebih basah dari normalnya.
Wilayah terdampak mencakup sebagian kecil Aceh, sebagian besar Lampung, wilayah barat hingga tengah Pulau Jawa. Bali, NTB, NTT, sebagian kecil Sulawesi, serta sebagian Papua bagian tengah.
BMKG memprediksi kemarau basah akan terus terjadi hingga Agustus 2025. Pada Juni, sekitar 56,54 persen wilayah Indonesia akan mengalami kondisi lebih basah dari normal. Angka ini meningkat menjadi 75,3 persen pada Juli, dan 84,94 persen pada Agustus.
Musim Kemarau 2025 Diprediksi Lebih Singkat
Menariknya, BMKG juga menyebut bahwa musim kemarau tahun ini akan berlangsung lebih singkat.
Berdasarkan hasil pemantauan iklim hingga pertengahan April 2025, sebagian besar wilayah Indonesia hanya akan mengalami kemarau. Antara 3 hingga 21 dasarian (satu dasarian = 10 hari), tergantung wilayahnya.
Wilayah-wilayah yang mengalami musim kemarau lebih pendek meliputi sebagian besar Sumatera, Jawa, Kalimantan Selatan, Sulawesi, Bali, NTB, NTT, Maluku Utara, dan sebagian Papua.
Sementara itu, 26 persen wilayah lain diprediksi justru mengalami musim kemarau lebih panjang dari biasanya.
Usai puncak musim kemarau pada Agustus 2025, Indonesia diperkirakan memasuki musim pancaroba (peralihan). Pada September hingga November. Musim hujan diprediksi akan mulai datang pada Desember 2025 hingga Februari 2026.(*)