Sumut  

KLHK Sebaiknya Tolak Adendum Andal Tambang Bakrie Group di Dairi

Dairi – Ribuan warga Kabupaten Dairi, Sumatra Utara, menolak adendum analisis dampak lingkungan hidup (Andal) rencana pengelolaan lingkungan hidup (RKL) dan rencana pemantauan lingkungan hidup (RPL) PT Dairi Prima Mineral (DPM) yang tengah diajukan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Direktur Yayasan Diakonia Pelangi Kasih Sarah Naibaho dalam keterangan tertulis menyebutkan, penolakan warga didasari kekhawatiran potensi risiko kehadiran tambang timah dan seng tersebut, karena Kabupaten Dairi berada di zona tinggi rawan bencana. 

“2.200 warga Dairi  di sekitar dan hilir lokasi tambang PT Dairi Prima Mineral dari beberapa kecamatan di Kabupaten Dairi menyatakan menolak adendum Andal RKL-RPL Tipe A PT DPM,” kata Sarah, Kamis (15/7/2021).

Surat penolakan kata dia, telah disampaikan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai instansi yang berwenang untuk menilai, menyetujui atau menolak adendum Andal dimaksud.

Sebelumnya pada 27 Mei 2021, Komisi Penilai Amdal Pusat telah melakukan pertemuan dengan pemangku kepentingan membahas adendum Andal RKL-RPL Tipe A PT DPM. 

Masyarakat bersama lembaga pendamping, seperti YDPK, Bakumsu, Petrasa, dan Jatam menolak didasarkan atas beberapa fakta, diantaranya minimnya partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan Amdal tahun 2005 dan untuk adendum RKL-RPL Tipe A  PT DPM  tahun 2021 belum jelas dan belum ada bukti kuat keterlibatan masyarakat.

Potensi lokal dari sektor pertanian harus menjadi prioritas pemerintah, bukan justru malah sektor pertambangan yang diutamakan

Amdal tahun 2005 untuk persetujuan operasi pertambangan di kawasan hutan, tidak ada kajian teknis baru yang disetujui terkait dengan fasilitas penyimpanan bahan peledak. Tetapi pada kenyataannya, fasilitas penyimpanan bahan peledak telah dibangun di Dusun Sipat, Desa Longkotan dan tidak ada sosialisasi sebelumnya kepada masyarakat.

Adendum Andal PT DPM tahun 2021 yang saat ini sedang dibahas, menunjukkan bahwa bendungan limbah berada pada kedalaman toba tuff dan bahkan lebih dari 50 meter. 

Berdasarkan analisis ahli keamanan bendungan Richard Meehan, lokasi pembangunan bendungan limbah berada di  hulu  dengan struktur tanah yang tidak stabil, curah hujan yang tinggi, dan berjarak 15 Km dari  sesar atau patahan gempa serta rawan bencana. Lokasi Bendungan limbah dekat dengan pemukiman dan lahan pertanian masyarakat. 

Kemudian, PT DPM  membangun mulut terowongan yang sangat dekat sumber air masyarakat, yakni sekitar 250 meter. Hal ini mengancam akses ribuan masyarakat terhadap kebutuhan air bersih.  

Perusahaan tambang seng dan timah itu sama sekali tidak memperhitungkan dampak dari tingginya kemungkinan jebolnya  bendungan limbah dan akan berdampak kepada kehidupan warga di sepanjang aliran sungai bahkan sampai ke laut Aceh. 

PT DPM juga dinilai tidak transparan mengenai informasi rencana penambangan dan informasi geologi juga tidak tersedia. 

Informasi ini kata Sarah, penting untuk penilaian independen terhadap stabilitas tempat limbah  yang diusulkan. Namun perusahaan menolak untuk menyediakannya untuk umum.

Selain itu, lanjutnya, di lokasi tempat limbah masih ada sengketa lahan antara warga dengan perusahaan dan juga adanya penolakan relokasi rumah ibadah untuk kepentingan tempat limbah perusahaan.

Kehadiran perusahaan yang saham juga dimiliki keluarga Aburizal Bakrie itu, menimbulkan konflik dan masalah sosial, baik antar masyarakat dengan  masyarakat atau antara perusahaan dengan masyarakat setempat

“Masyarakat sangat berharap KLHK memiliki keberpihakan dan memprioritaskan  keselamatan warga di wilayah  proyek. Perizinan tambang di Dairi harus mempertimbangkan aspek-aspek kebencanaan dan kerentanan daerah. Potensi lokal dari sektor pertanian harus menjadi prioritas pemerintah, bukan justru malah sektor pertambangan yang diutamakan,” katanya.[]

Iklan RS Efarina