Spesies ini sebelumnya hanya dua kali berhasil didokumentasikan. Yang pertama oleh naturalis asal Prancis, Pierre Pfeffer, pada 1957. Yang kedua oleh tim WWF dan peneliti Dave Augeri melalui kamera jebak pada 2003.
Kalimantan|Simantab – Setelah lebih dari 20 tahun tidak terpantau, seekor kucing merah Kalimantan (Catopuma badia) kembali tertangkap kamera di kawasan Taman Nasional Kayan Mentarang (TNKM), Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara. Hewan langka ini terlihat berjalan melintasi batang pohon tumbang, dengan tubuh ramping dan ekor panjang berwarna cokelat kemerahan keemasan.
Rekaman tersebut diunggah oleh akun resmi Balai Taman Nasional Kayan Mentarang pada 20 Maret 2025. Ini menjadi kemunculan pertama spesies ini di TNKM sejak terakhir kali terpantau dua dekade silam.
Dalam arsip Balai TNKM, tercatat bahwa spesies ini sebelumnya hanya dua kali berhasil didokumentasikan. Yang pertama oleh naturalis asal Prancis, Pierre Pfeffer, pada 1957. Yang kedua oleh tim WWF dan peneliti Dave Augeri melalui kamera jebak pada 2003.
“Penampakan kali ini terekam melalui camera trap dan menjadi yang pertama sejak 2003,” kata Seno Pramudito, Kepala Balai TNKM.
Menurut Septian Adi Nugroho, staf teknis di Balai TNKM, penemuan tersebut berasal dari kamera yang dipasang pada tahun 2023 oleh dua petugas TNKM, Josua Wandry Nababan dan Novaldo Markus. Rekaman kemudian diunduh dan dianalisis pada 2024 sebelum akhirnya dipublikasikan ke publik pada Maret 2025.
“Pada 2021 dan 2022, kami juga telah melakukan patroli dan memasang kamera di lokasi sekitar temuan ini, tetapi hasilnya nihil. Baru pada 2023 individu ini berhasil terekam,” ujarnya, Sabtu (31/05/2025).
Sebagai tindak lanjut, TNKM berencana menambah jumlah kamera pengintai di sekitar lokasi penemuan untuk memperluas pemantauan.
Sosok Misterius dari Hutan Kalimantan
Kucing merah Kalimantan dijuluki sebagai salah satu spesies paling misterius di dunia karena sangat jarang terlihat dan minim informasi. Buku Wild Cats, terbitan IUCN, menyebut bahwa sebagian besar deskripsi tentang spesies ini hanya didasarkan pada kulit dan kerangka yang dikumpulkan pada akhir 1800-an, yang kini tersimpan di beberapa museum.
Data genetika kucing ini mulai dikumpulkan pada 1992, setelah seekor betina tertangkap di perbatasan Indonesia–Sarawak. Sayangnya, hewan tersebut meninggal tak lama kemudian dan tidak sempat diteliti secara menyeluruh. Observasi langsung terakhir terhadap spesies ini bahkan tercatat pada 1893.
Spesies ini memiliki dua variasi warna, yakni abu-abu dan merah, dengan warna merah lebih umum dijumpai. Salah satu ciri utamanya adalah ekor yang sangat panjang—sekitar 73 persen dari panjang tubuhnya. Dari spesimen yang ada, ekor kucing ini bisa mencapai 39 cm, sementara panjang tubuh (dari kepala hingga panggul) sekitar 53 cm.
Penampilannya menyerupai kucing emas Asia (Pardofelis temminckii) yang tersebar di Asia Tenggara, termasuk Sumatera, tetapi tidak ditemukan di Kalimantan. Studi genetik menunjukkan bahwa kedua spesies ini memiliki hubungan kekerabatan, namun telah berevolusi secara terpisah sejak sekitar 3,16 juta tahun lalu.
Sebuah penelitian pada 2007 mengungkap bahwa sebagian besar keberadaan kucing merah tercatat di area dekat sungai dan hutan bakau. Wilayah persebarannya mencakup Sarawak, Sabah, dan berbagai kawasan di Kalimantan, seperti lembah Danum, hulu Sungai Mahakam, Muara Rekut, dan Sungai Kunjung.
Berbeda dengan kucing emas Asia yang dapat beradaptasi dengan berbagai habitat, kucing merah lebih memilih hutan hujan tropis yang lebat dan tertutup. Oleh karena itu, mereka jauh lebih rentan terhadap ancaman kepunahan, terutama akibat deforestasi dan fragmentasi habitat.
Ancaman dan Harapan untuk Konservasi
Menurut catatan IUCN, meskipun kamera pengintai semakin sering merekam keberadaan kucing merah, jumlahnya masih sangat kecil dibandingkan spesies lain seperti macan dahan. Estimasi konservatif menyebutkan bahwa kepadatan kucing merah hanya sekitar satu individu per 100 kilometer persegi, dengan populasi dewasa diperkirakan tidak lebih dari 2.200 ekor.
Kucing merah sangat bergantung pada hutan primer dan menunjukkan toleransi yang sangat rendah terhadap perubahan habitat. Mereka tidak dapat hidup di lahan terbuka, savana, maupun perkebunan sawit. Sayangnya, laju deforestasi di Kalimantan terus mengancam keberadaan habitat alami mereka.
Upaya konservasi harus difokuskan pada penelitian mendalam tentang ekologi, distribusi, pola makan, serta reproduksi kucing ini. Penguatan kawasan konservasi, pengendalian perambahan hutan, dan pelibatan masyarakat lokal dalam perlindungan satwa juga menjadi kunci penting.
Sebagai bioindikator kualitas ekosistem hutan tropis, keberadaan kucing merah menunjukkan betapa pentingnya menjaga keutuhan hutan Kalimantan. Jika kita ingin mempertahankan spesies langka ini di alam liar, langkah nyata dan kolaboratif harus segera dilakukan. Masa depan mereka bergantung pada tindakan kita hari ini.(*)