Pematangsiantar menetapkan lima bangunan bersejarah sebagai Cagar Budaya. Langkah ini menjadi upaya serius pemerintah kota dalam menjaga identitas sejarah di tengah modernisasi.
Pematangsiantar|Simantab – Di tengah laju pembangunan yang kian pesat, Kota Pematangsiantar mengambil langkah penting untuk menjaga warisan masa lalunya. Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Pematangsiantar secara resmi merekomendasikan lima bangunan bersejarah untuk ditetapkan sebagai Cagar Budaya dalam sidang pleno di Aula Dinas Pendidikan, Selasa (28/10/2025).
Langkah ini menandai komitmen serius pemerintah kota dalam melindungi identitas sejarah yang mulai tergerus modernisasi. Penetapan tersebut merupakan hasil kajian panjang sejak awal tahun, mencakup bangunan dengan nilai arsitektur, sosial, dan historis tinggi: Rumah Dinas Asisten Apoteker, Pesanggrahan Raja Siantar, Kantor Pusat GKPS Lama, Rumah Besar Radjamin Purba, dan Rumah Dinas Djasamen Saragih.
Penyerahan hasil rekomendasi dilakukan oleh Ketua TACB Kota Pematangsiantar, Erizal Ginting, kepada Pemerintah Kota melalui Sekretaris Dinas Pendidikan, Risbon Sinaga. Penetapan ini merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, serta Permendikbudristek Nomor 36 Tahun 2023 tentang Penyelenggaraan Register Nasional Cagar Budaya.
Proses Panjang Penetapan
Ketua TACB, Erizal Ginting, menjelaskan bahwa penetapan ini merupakan hasil kajian mendalam terhadap nilai sejarah dan sosial dari masing-masing bangunan.
“Prosesnya tidak hanya administratif. Kami menelusuri jejak sejarah dan peran sosial setiap bangunan dalam membentuk identitas Siantar,” katanya, Kamis (30/10/2025).
Ia menambahkan, Rumah Besar Radjamin Purba merupakan simbol kepemimpinan lokal, sementara Rumah Dinas Djasamen Saragih menjadi saksi dedikasi di bidang kesehatan. Penilaian dilakukan bertahap melalui inventarisasi, riset sejarah, dan peninjauan langsung di lapangan.
Menurut Erizal, TACB masih memiliki beberapa obyek lain yang sedang dikaji untuk diusulkan tahun depan.
“Siantar memiliki banyak warisan yang belum terpetakan. Kami berharap masyarakat ikut melaporkan bangunan bersejarah agar lebih banyak yang terlindungi,” ujarnya.
Tanggung Jawab Pemerintah dan Edukasi Publik
Kepala Bidang Pendidikan Non Formal dan Kebudayaan Dinas Pendidikan Kota Pematangsiantar, Fachrudin Sagala, menyampaikan bahwa pihaknya sedang menyelesaikan tahap administratif akhir sebelum penetapan resmi.
“Setelah disahkan, pemerintah akan melakukan perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan terhadap kelima obyek itu,” ujarnya.
Fachrudin menjelaskan, perlindungan dilakukan melalui pengawasan agar tidak terjadi alih fungsi bangunan. Pelestarian dilakukan lewat perawatan rutin dan dokumentasi digital, sementara pemanfaatan diarahkan untuk kegiatan edukasi dan wisata.
“Kami juga akan memasukkan materi tentang Cagar Budaya sebagai muatan lokal di sekolah-sekolah. Anak-anak Siantar harus mengenal sejarah kotanya,” katanya.
Selain pendidikan, pemerintah membuka kerja sama dengan komunitas budaya, sekolah, dan Dinas Pariwisata untuk mengembangkan wisata sejarah.
“Kami ingin pelestarian budaya menjadi gerakan bersama. Ketika masyarakat merasa memiliki, warisan itu akan bertahan lama,” ujarnya.
Tantangan di Tengah Modernisasi
Meski penuh optimisme, Fachrudin mengakui pelestarian budaya bukan hal mudah di tengah tekanan pembangunan dan minimnya kesadaran masyarakat.
“Bangunan tua sering dianggap tidak produktif, padahal nilainya jauh lebih tinggi dari sekadar ekonomi. Tantangan kita adalah mengubah cara pandang itu,” ucapnya.
Ia menegaskan, keberhasilan pelestarian tidak hanya bergantung pada aturan, tetapi juga keterlibatan masyarakat.
“Kami mendorong komunitas, pelajar, dan akademisi ikut meneliti dan mempromosikan warisan ini,” tambahnya.
Identitas Kota yang Harus Dijaga
Penetapan lima bangunan sebagai Cagar Budaya menjadi tonggak penting bagi Pematangsiantar. Di tengah perkembangan kota, warisan budaya ini menjadi pengingat bahwa Pematangsiantar memiliki akar sejarah dan identitas yang kuat.
“Cagar Budaya bukan sekadar bangunan, tetapi cerita hidup tentang siapa kita dan dari mana kita berasal,” tutup Fachrudin.
Dengan langkah ini, Pematangsiantar tak hanya menjaga fisik bangunan bersejarah, tetapi juga merawat ingatan kolektif warganya — agar generasi muda tetap mengenal jati diri kotanya di tengah arus modernisasi.(Putra Purba)







