Kebijakan lima hari sekolah ini merujuk pada Peraturan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Permendikdasmen) Nomor 11 Tahun 2025 tentang jam pelajaran.
Simalungun|Simantab – Penerapan kebijakan lima hari sekolah untuk jenjang SD dan SMP di Kabupaten Simalungun tampaknya belum akan berjalan mulus. Meskipun Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pemprovsu) telah meresmikan kebijakan tersebut, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Simalungun mengaku belum siap dan masih dalam tahap pengkajian mendalam.
Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Simalungun, Sudiahman Saragih, menyampaikan bahwa pihaknya sudah melaporkan kondisi ini kepada Bupati Simalungun, Anton Saragih.
“Kami sudah sampaikan kepada Bapak Bupati, masih kami kaji dahulu, saat pertemuan di Medan,” ujar Sudiahman saat ditemui di ruang kerjanya, Kamis (24/7/2025).
Menurutnya, penerapan kebijakan ini tidak akan mudah di semua sekolah, bahkan jika akhirnya diputuskan untuk diberlakukan. Saat ini, dinas sedang melakukan survei ke masing-masing sekolah guna menjaring tanggapan dari orang tua siswa.
Kebijakan lima hari sekolah ini merujuk pada Peraturan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Permendikdasmen) Nomor 11 Tahun 2025 tentang jam pelajaran.
Sudiahman menjelaskan bahwa saat ini jumlah jam pelajaran SD dalam enam hari sekolah adalah 35 jam per minggu. Jika diubah menjadi lima hari, jam belajar siswa akan menjadi 30 jam per minggu. Untuk jenjang SMP, dari semula 40 jam akan dikurangi menjadi 35 jam per minggu, atau sekitar 6 jam pelajaran per hari.
“Survei masih berjalan untuk menampung tanggapan dari orang tua dan masyarakat. Jika responnya positif, maka penerapannya akan ditetapkan melalui Peraturan Bupati (Perbup),” jelas Sudiahman.
Ia menambahkan, salah satu kekhawatiran utama dalam penerapan lima hari sekolah adalah dampaknya di wilayah pedesaan.
“Takutnya nanti lari dari tujuan. Tujuan awalnya kan agar satu hari bisa dipakai guru untuk belajar, dan murid untuk bersama keluarga. Tapi malah bisa saja digunakan ke ladang atau membantu orang tua, jadi tidak tercapai tujuannya,” ujar Sudiahman.
Pengamat: Jangan Latah Ikut-ikutan Daerah Lain
Pengamat pendidikan, Bismar Sibuea, memberikan catatan kritis atas kebijakan ini. Ia menekankan bahwa kebijakan lima hari sekolah seharusnya tidak diterapkan hanya demi mengikuti tren.
Menurut akademisi dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Simalungun (USI) ini, perubahan dari enam hari menjadi lima hari perlu diiringi kajian menyeluruh terhadap desain kurikulum harian.
“Kalau tidak hati-hati, bisa saja pelajaran penting seperti matematika malah diajarkan saat siswa sudah tidak fokus, misalnya pukul dua hingga empat sore,” katanya.
Ia juga menyoroti kesiapan fisik dan psikologis siswa, serta fakta bahwa keberhasilan di daerah lain tidak bisa dijadikan acuan mutlak.
Bismar menambahkan, guru juga perlu dipastikan siap untuk berada di sekolah hingga sore hari. Banyak guru yang memiliki pekerjaan paruh waktu selepas mengajar, apalagi jika penghasilannya masih di bawah Upah Minimum Regional (UMR).
“Belum lagi banyak siswa yang juga ikut mencari nafkah membantu orang tua. Ini bisa berdampak pada kondisi ekonomi keluarga,” tegasnya.
Selain itu, ia mengangkat isu lain yang jarang dibahas: potensi terganggunya operasional lembaga bimbingan belajar (bimbel). Menurutnya, meski bimbel bukan bagian dari struktur pendidikan formal, pelaku usaha di sektor ini juga adalah warga negara yang perlu diperhatikan.
Di akhir pernyataannya, Bismar mempertanyakan urgensi kebijakan tersebut.
“Apa urgensinya harus lima hari? Selama ini memang ada masalah besar? Jangan sampai kita hanya ikut-ikutan daerah lain. Tidak membuat kebijakan baru juga bisa jadi bentuk kebijakan,” pungkasnya.(putra purba)