Seorang mahasiswi Universitas HKBP Nommensen Pematangsiantar memberanikan diri melapor dugaan pelecehan verbal oleh dosennya. Dua bulan berlalu, ia masih menanti keadilan di tengah tekanan sosial dan lambannya proses investigasi kampus.
Pematangsiantar|Simantab – Sudah dua bulan berlalu sejak CP, mahasiswi Fakultas Ekonomi Universitas HKBP Nommensen Pematangsiantar angkatan 2022, memberanikan diri bersuara. Ia menulis di akun media sosialnya tentang dugaan pelecehan verbal yang dialaminya dari seorang dosen berinisial SSb. Sejak saat itu, hidupnya berubah.
Awalnya, percakapan antara CP dan SSb di kantin kampus tampak biasa (seputar tugas dan urusan akademik). Namun perlahan, arah pembicaraan itu berubah. SSb mulai melontarkan kalimat-kalimat yang membuat CP merasa tak nyaman. Dari yang semula membahas mata kuliah, percakapan menjurus pada ajakan pribadi, bahkan ke arah yang bersifat intim.
CP sempat merekam sebagian percakapan itu. Dalam rekaman, SSb disebut sempat bercerita tentang kehidupan rumah tangganya, lalu mengajak CP untuk bepergian dan menginap di hotel, dengan alasan agar “orang mengira mereka seperti bapak dan anak.” Bagi CP, itu bukan sekadar ucapan – itu bentuk pelecehan yang nyata.

Sejak saat itu, rasa takut dan cemas terus menghantui. Ia kehilangan fokus di tengah masa Praktik Pengalaman Lapangan. Malam-malamnya dihabiskan dengan pikiran yang tak tenang. Ia akhirnya memberanikan diri melapor ke pihak kampus pada 1 Agustus 2025.
Belum Mendapat Kepastian
“Psikologi saya terganggu, apalagi sekarang lagi masa PPL. Sampai sekarang pihak kampus masih coba diselesaikan di lingkup internal,” ujarnya lirih ketika ditemui wartawan pada Minggu, 5 Oktober 2025.
Setelah laporan dibuat, tekanan datang dari berbagai arah. CP mengaku menjadi bahan gunjingan di lingkungan kampus. Ada yang menyebutnya “perempuan simpanan,” ada pula yang menyarankan agar masalah itu diselesaikan secara kekeluargaan. Tekanan sosial itu membuatnya semakin terpuruk.
“Setelah saya berani buka suara, justru saya semakin distigma dan mendapat perlakuan tidak adil. Padahal saya hanya ingin keadilan dan perlindungan,” ucapnya.
Di tengah ketakutan itu, CP tetap bertahan. Ia tak ingin diam. Ia tahu, diam hanya akan membuat pelaku merasa aman, dan korban berikutnya bisa muncul tanpa suara.
Sementara itu, pihak Universitas HKBP Nommensen Pematangsiantar membentuk Tim Investigasi pada 22 Agustus 2025 untuk menelusuri kebenaran kasus ini.
Wakil Rektor II, Hendra Simanjuntak, mengatakan tim tersebut sedang bekerja dan telah memeriksa sejumlah pihak.
“Kita sudah lakukan pemeriksaan. Saat ini tim berada pada tahapan pembacaan berita acara dari semua yang diperiksa. Setelah selesai, akan segera kami laporkan ke Rektor,” ujarnya.
Tim investigasi beranggotakan tiga orang, yakni Hendra Simanjuntak, Harry Simanjuntak selaku Kepala Biro SDM, dan Welly Togatorop sebagai ahli hukum. Mereka bertugas memastikan laporan disusun tanpa bias sebelum rekomendasi diserahkan ke pimpinan universitas.
“Tim akan melaporkan temuan kami kepada Rektor, dan Rektor akan menjatuhkan sanksi setelah melalui rapat pimpinan,” tambah Hendra.
Kini, publik menanti langkah nyata universitas. Kasus ini bukan sekadar tentang satu mahasiswi yang merasa dilecehkan, tapi juga tentang bagaimana dunia pendidikan menegakkan martabat dan rasa aman bagi seluruh civitas akademika.
Bagi CP, perjuangan ini belum selesai. Ia masih menunggu, bukan sekadar keputusan, tapi pengakuan bahwa keberaniannya bersuara adalah langkah benar, bukan kesalahan.(Ronal Sibuea)