Mendorong Perda Sapangambei Manoktok Hitei di Siantar

Siantar – Meskipun Kota Pematangsiantar sudah berusia 150 Tahun, namun Sapangambei Manoktok Hitei belum pernah resmi dijadikan sebagai moto atau semboyan yang tercantum di dalam lambang daerah Pemerintah Kota Pematangsiantar.

Termasuk belum ada peraturan hukum dalam bentuk peraturan daerah (perda) yang dapat mengikat penggunaan moto Sapangambei Manoktok Hitei dimaksud.

Hal itu menjadi bagian kesimpulan focus group discussion (FGD) bertajuk “Quo Vadis: Sapangambei Manoktok Hitei? Patunggung Moto Kota Pematangsiantar”, yang digelar di aula Pascasarjana Universitas Simalungun, Kota Pematangsiantar, Selasa (20/4/2021) yang difasilitasi oleh Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Simalungun.

Kegiatan ini dimoderasi Dr Mudri Pasaribu dan notulis Jalatua H. Hasugian, dengan menghadirkan delapan narasumber, yakni Dr Hisarma Saragih, Dosen Universitas Simalungun (kajian historis).

Kemudian, Dr Ulung Napitu, Dosen Universitas Simalungun (kajian sosiologi/antropologi), Dr Anggiat Sinurat, Dosen Universitas Simalungun (kajian perencanaan wilayah, Dr Riduan Manik, Dosen Universitas Simalungun (kajian hukum).

Rohdian Purba MSi, Sekretaris Partuha Maujana Simalungun (PMS) Kota Pematangsiantar (kajian budaya/adat), Astronout Nainggolan, DPRD Kota Pematangsiantar (kajian politik), Jamara RJ Damanik MEc,  Badan Peneliti dan Perencana Daerah Kota Pematangsiantar (kajian tata pemerintahan) dan Tigor Munthe, Jurnalis (kajian media)

Disebutkan, etnik Simalungun merupakan suhut atau tuan rumah di wilayah Kabupaten Simalungun dan Kota Pematangsiantar, sehingga dipandang perlu mengangkat harkat dan martabat budayanya sebagai falsafah hidup masyarakat Kota Pematangsiantar yang multikultural.  

Sapangambei Manoktok Hitei merupakan nilai luhur budaya Simalungun yang sudah sejak lama bertumbuh, berkembang dan digunakan sebagai falsafah hidup masyarakat di Kabupaten Simalungun dan Kota Pematangsiantar yang memiliki makna tentang kebersamaan, persatuan, rela berkorban, tolong-menolong dan sosialisasi. 

Secara de facto, Sapangambei Manoktok Hitei telah tersosialisasi secara luas dalam kehidupan masyarakat Kabupaten Simalungun dan Kota Pematangsiantar.   

“Meskipun Kota Pematangsiantar sudah berusia 150 Tahun, namun Sapangambei Manoktok Hitei belum pernah resmi dijadikan sebagai moto yang tercantum di dalam Lambang Daerah Pemerintah Kota Pematangsiantar. Sampai sekarang belum ada peraturan hukum dalam bentuk Peraturan Daerah yang dapat mengikat penggunaan moto Sapangambei Manoktok Hitei dalam Lambang Daerah Pemerintahan Kota Pematangsiantar,” kata Jalatua saat membacakan hasil kesimpulan para pembicara.  

Patunggung (memuliakan) terhadap Sapangambei Manoktok Hitei  harus dilakukan secara terus-menerus dalam rangka membangun perspektif yang terinternalisasi membentuk karakter masyarakat Kota Pematangsiantar yang menghormati kearifan lokal (local wisdom).  

Dibutuhkan ruang publik yang inklusif, dalam rangka memberi kontribusi pemikiran untuk merencanakan pembangunan berbasis wilayah, sehingga kultur lokal terakomodir melalui partisipatif yang komunikatif dengan melibatkan aktor mitra setara bersama elemen masyarakat (bottom up planning). 

“Pemerintah Kota dan DPRD Kota Pematangsiantar sepatutnya segera menerbitkan Peraturan Daerah terkait pencantuman moto Sapangambei Manoktok Hitei dalam Lambang Daerah Pemerintah Kota Pematangsiantar, sehingga penggunaannya mendapatkan legalitas formal secara tertulis (de jure) dan tidak menimbulkan multitafsir yang tidak terkendali di tengah masyarakat dan menjadi warisan bagi generasi selanjutnya,” katanya. 

Diteruskan, perlu perubahan perencanaan Tata Ruang Kota Pematangsiantar berlandaskan moto Sapangambei Manoktok Hitei dalam rangka membangun kota multi etnik yang mengedepankan ornamen/arsitektur khas Simalungun sebagai bentuk patunggung terhadap kearifan lokal pada bangunan-bangunan publik. 

Perlu rumusan yang tegas, lugas, jelas sehingga tidak menimbulkan multitafsir di tengah masyarakat tentang pengertian atau makna Sapangambei Manoktok Hitei, apalagi masyarakat Kota Pematangsiantar sangat multikultural.     

Perlu revisi Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perangkat Daerah Kota Pematangsiantar, di mana salah satunya adalah bagaimana memperkuat instansi yang mengurusi tentang Kebudayaan, jangan hanya sebatas Seksi di Dinas Pendidikan yang tidak bisa membuat kebijakan strategis dalam rangka melestarikan budaya lokal. 

Perlu revisi Peraturan Daerah atau Peraturan Walikota tentang penulisan Kota Pematangsiantar menjadi “Pamatang Siantar” mengingat dari aspek historisnya, istilah “Pamatang” dan “Siantar” itu terdiri dari dua kata yang berdiri sendiri, serta mengembalikan nama-nama kecamatan atau kelurahan bernuansa Simalungun.

Sudah ada beberapa kali upaya Pemko Pematangsiantar untuk menyempurnakan lambang daerah sekaligus mengupayakan agar moto Sapangambei Manoktok Hitei tercantum dalam Lambang Daerah Kota Pematangsiantar sejak tahun 1992 dan sampai sekarang masih terus berproses. 

Pada tahun 2020 pemerintah kota telah mengajukan Ranperda tentang Lambang Daerah Kota Pematangsiantar ke DPRD dan telah disetujui untuk dilengkapi naskah akademik serta naskah ranperdanya, karena adanya sejumlah perubahan gambar/makna pada Lambang Daerah atas usulan berbagai elemen masyarakat. 

Pada Tahun 2021 Pemko Pematangsiantar akan menyelenggarakan lomba cipta Hymne Kota Pematangsiantar sebagaimana amanat Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah dalam rangka mendukung Ranperda tentang Lambang Daerah Kota Pematangsiantar. 

BACA JUGA

10 Tahun Pimpin Simalungun, JR Saragih Sampaikan Hormat ke Demokrat

Anggota DPRD Karo Dilaporkan Dugaan Zinah, Kasusnya Ditangani DPP Demokrat

Tahun 2012 PMS Kota Pematangsiantar pernah diundang dalam sayembara Lambang Daerah dan moto Sapangambei Manoktok Hitei tetapi sampai hari ini belum ada kejelasan hasil akhirnya.  

Selama ini nilai-nilai dan makna Sapangambei Manoktok Hitei belum terkristalisasi dengan baik, apalagi menjadi nilai hidup masyarakat, akibat minimnya sosialisasi termasuk melalui karya-karya jurnalistik sehingga berbagai pihak tampaknya bekerja sendiri-sendiri, termasuk Pemko dan DPRD Kota Pematangsiantar. 

Masyarakat banyak yang tidak tahu tentang moto Sapangambei Manoktok Hitei maupun aspek-aspek budaya Simalungun lainnya, namun tidak tahu ke mana tempat bertanya yang formal dan representatif serta dikenal luas masyarakat umum, oleh karena itu dibutuhkan penguatan kepada generasi muda lewat muatan lokal kepada anak-anak sekolah. 

“Mendesak Pemko dan DPRD Kota Pematangsiantar untuk segera merampungkan pembahasan Ranperda tentang Lambang Daerah Kota Pematangsiantar, di mana di dalamnya harus mencantumkan moto Sapangambei Manoktok Hitei, dalam rangka memberikan kepastian hukum tentang legalitas penggunaannya, baik di lembaga pemerintahan, lembaga politik, lembaga swasta, elemen publik maupun masyarakat secara luas,” tukas Jalatua. 

Ketua LPKM Universitas Simalungun Marulam Simarmata menyampaikan bahwa kegiatan ini melibatkan sejumlah elemen masyarakat, seperti mahasiswa, organisasi pemuda, politisi dan elemen lainnya.

“Hasil FGD akan disempurnakan oleh panitia dan narasumber yang kemudian akan dikirimkan kepada Wali Kota dan Pimpinan DPRD Kota Pematangsiantar,” kata Marulam.

Acara ini sebelumnya dibuka secara resmi Rektor Universitas Simalungun Corry Purba. Dia berharap dari kegiatan FGD lahir ide dan pemikiran bersama untuk kemudian menjadi spirit untuk mendorong lahirnya Perda moto Sapangambei Manoktok Hitei di Kota Pematangsiantar. ()

Iklan RS Efarina