Program Makan Bergizi Gratis di Pematangsiantar disorot. Ombudsman kritik junk food, SPPG klaim pakai pangan lokal, ahli gizi tekankan keamanan pangan.
Pematangsiantar|Simantab – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digulirkan pemerintah bertujuan memastikan anak-anak mendapat makanan sehat di tengah mahalnya harga bahan pangan. Namun, di balik harapan itu, muncul kritik keras: mengapa masih ada sosis, nugget, bahkan burger dalam menu yang disebut bergizi?
Hal tersebut disampaikan Kepala Ombudsman RI Perwakilan Sumut, Herdensi Adnin, yang mempertanyakan kehadiran makanan ultraolahan (ultra-processed foods/UPF) dalam program MBG. Menurutnya, makanan seperti sosis, nugget, dan burger tidak layak diberikan kepada anak-anak penerima program.
“Menu makan bergizi itu tidak bisa diisi atau digantikan dengan makanan instan. Nilai gizinya minim. Sosis, nugget, atau burger hanya junk food, tidak layak diberikan kepada anak-anak. Harusnya tidak boleh ada dalam menu,” katanya tegas, Rabu (1/10/2025).

Ombudsman: Ada Potensi Maladministrasi
Herdensi menilai penyediaan makanan ultraolahan dalam MBG justru bertolak belakang dengan semangat program ini. Apalagi, Ombudsman telah menemukan potensi maladministrasi, antara lain keterlambatan pencairan honorarium staf lapangan, konflik kepentingan dalam penetapan mitra, lemahnya penerapan SOP, hingga penyimpangan pengadaan bahan pangan, seperti beras tidak sesuai kontrak dan distribusi sayuran busuk.
Menurutnya, keberhasilan program MBG pada akhirnya dapat diukur dari tiga hal: tata kelola yang baik, penggunaan anggaran yang akuntabel, serta penerapan sertifikasi keamanan pangan menuju nol insiden di setiap Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG).
Ombudsman kemudian menyodorkan tiga rekomendasi, yakni memperbaiki regulasi, memperkuat sumber daya manusia, dan memperketat pengendalian mutu pangan dengan melibatkan BPOM secara penuh. Selain itu, pengawasan harus dilakukan rutin melalui evaluasi berkala serta membuka ruang partisipasi masyarakat.
“Kalau tiga hal ini berjalan, kualitas MBG bisa lebih terjamin. Karena pada akhirnya, ukuran keberhasilan bukan hanya anak kenyang, tapi anak sehat,” ujarnya.
SPPG: Kami Utamakan Pangan Lokal
Sorotan itu dijawab Kepala SPPG Pematangsiantar, Dinda Lestari. Ia menegaskan kekhawatiran soal junk food tidak berlaku di Pematangsiantar.
“Kami (SPPG) sudah tegas. Tidak ada sosis, nugget, atau makanan instan dalam menu MBG. Dari awal, arahan BGN pusat jelas, fokus pada pangan lokal yang sehat dan bernilai gizi,” ungkap Dinda.
Ia menambahkan setiap bahan pangan yang digunakan harus melewati seleksi kualitas.
“Beras, sayur, lauk – semua dicek sebelum masuk dapur. Kami tidak mau anak-anak menerima makanan yang tidak layak,” tegasnya.
Meski begitu, Dinda tidak merinci secara detail mekanisme penentuan menu. Ia hanya menyebut menu disusun dengan menyesuaikan usulan siswa dan guru, memperhatikan aspek higienitas, keamanan pangan, serta keberlanjutan.
“Menu nontradisional seperti burger atau spageti bisa muncul sesekali sebagai menu selingan berdasarkan permintaan siswa. Namun, itu tidak mengubah kerangka gizi utama. Porsi makanan tetap disesuaikan dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG) anak sesuai usianya,” jelasnya.
Ahli Gizi: MBG Harus Berbasis Keamanan dan Budaya Makan
Dari perspektif kesehatan, Kepala Instalasi Gizi RSUD dr. Djasamen Saragih, Elly Damanik, menekankan pentingnya perencanaan menu berbasis standar keamanan pangan.
“Menu MBG harus mengikuti pola pangan lokal. Di Siantar, kita punya banyak sumber protein dan sayuran segar. Itu lebih aman, lebih bergizi, dan sesuai budaya makan masyarakat,” kata Elly.
Menurutnya, penggunaan bahan pangan lokal bukan hanya soal nutrisi, tetapi juga keberlanjutan.
“Kalau pakai bahan dari luar atau makanan instan, risikonya lebih tinggi: distribusi panjang, makanan cepat busuk, dan gizi berkurang,” tegasnya.
Elly menambahkan, pangan lokal lebih cepat sampai ke anak-anak sehingga kualitas gizinya lebih terjaga. Ia juga mengingatkan bahwa keamanan pangan harus menjadi prioritas.
“Makanan untuk anak-anak tidak boleh sekadar layak konsumsi, tetapi harus melalui standar kebersihan, pengolahan, hingga distribusi yang terkontrol. Kalau tahap pengolahan dan distribusi asal-asalan, makanan bisa terkontaminasi dan justru membahayakan kesehatan anak,” ujarnya.
Masa Depan MBG: Kualitas atau Kuantitas?
Perdebatan soal menu MBG membuka pertanyaan: apakah program ini hanya sekadar memberi makan, atau benar-benar memperhatikan kualitas gizi anak-anak?
Di Pematangsiantar, komitmen pemerintah daerah untuk menyingkirkan junk food dari menu patut diapresiasi. Namun, tanpa pengawasan konsisten, risiko penyimpangan tetap terbuka.
“Lebih dari itu, ini soal membangun generasi sehat dengan gizi yang layak, aman, dan mendukung masa depan mereka,” pungkas Elly.(Putra Purba)