Mesin-mesin yang semestinya mengolah sampah menjadi produk bernilai ekonomis dilaporkan belum berfungsi optimal. Bahkan, sebagian terkesan mangkrak.
Pematangsiantar|Simantab – Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Pematangsiantar tengah menjadi sorotan publik. Proyek pengadaan mesin pengolah sampah plastik senilai Rp1,2 miliar yang sebelumnya digadang-gadang sebagai solusi inovatif, justru kini menyisakan banyak pertanyaan.
Mesin-mesin yang semestinya mengolah sampah menjadi produk bernilai ekonomis dilaporkan belum berfungsi optimal. Bahkan, sebagian terkesan mangkrak.
Pengadaan ini mencakup rangkaian alat berteknologi modern, antara lain: mesin pemilah (Huar), mesin pencuci (Gibrik), mesin pencacah plastik (Crusher), mesin peleleh, mesin pelebur (Hot Extruder), hingga mesin pencetak paving block dan conveyor.
Kepala DLH Kota Pematangsiantar, Dedy Tunasto Setiawan menjelaskan, proyek ini bertujuan untuk mengolah sampah menjadi refuse derived fuel (RDF) serta bahan baku paving block. Harapannya, keberadaan mesin tersebut dapat mengurangi beban sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sekaligus menciptakan nilai ekonomi.
Namun, kenyataan di lapangan jauh dari harapan. Sejak mesin-mesin itu didatangkan pada 2024, belum ada hasil signifikan yang dihasilkan.
“Seharusnya plastik itu dirajang dan dilelehkan kembali, baru kemudian diberi pewarna,” ujar Dedy saat dikonfirmasi, Rabu (18/06/2025).
Ia memaparkan, rencana awal proyek adalah memilah sampah plastik dari TPA untuk kemudian diproses di Pusat Pendidikan dan Pelatihan Skala Kota (Pusdiklat) DLH Pematangsiantar.
Lebih lanjut, Dedy menyebut pengelolaan sampah berbasis teknologi di TPA Tanjung Pinggir baru dimulai tahun lalu, dengan fokus pada produksi RDF dan paving block. Namun di tengah pelaksanaan proyek ini, DLH juga harus menghadapi persoalan lain yang tak kalah serius: sistem pengelolaan sampah di TPA masih menggunakan metode open dumping.
Dedy mengakui praktik pembuangan sampah secara terbuka tanpa penanganan atau penutupan sesuai standar lingkungan merupakan pelanggaran. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bahkan telah secara tegas melarang metode tersebut.
Akibat pelanggaran ini, Kota Pematangsiantar masuk dalam daftar 343 daerah yang mendapat sanksi administrasi dari KLHK.
“Kita diberi tenggat waktu enam bulan ke depan oleh kementerian untuk mengubah sistem pengelolaan sampah,” terang Dedy.
KLHK menilai metode open dumping berpotensi menimbulkan pencemaran dan kerusakan lingkungan dalam skala besar. Sebagai solusi, DLH Pematangsiantar merencanakan transisi ke sistem controlled landfill, yakni metode pembuangan sampah dengan penutupan berlapis tanah secara berkala untuk meminimalkan dampak seperti bau, air lindi, hingga pencemaran udara.
Infrastruktur pendukung seperti saluran drainase, kolam penampungan, pos kontrol, serta alat berat (excavator dan bulldozer) akan disiapkan. Dedy menyebut pihaknya telah mengajukan anggaran ke Pemerintah Kota untuk mendukung transformasi ini.
“Targetnya, pada 2026 nanti sudah tidak ada lagi sistem open dumping di TPA Tanjung Pinggir,” ujarnya.
Pantauan di lapangan menunjukkan tiga unit alat berat sudah berada di lokasi. Salah satunya tampak sedang beroperasi meratakan tumpukan sampah.
Pengamat Lingkungan: Ada Dugaan Pemborosan dan Potensi Pidana
Pengamat lingkungan dari Universitas Simalungun, Ramainim Saragih, menyampaikan kekhawatirannya terhadap situasi tersebut. Ia menilai proyek pengadaan mesin senilai Rp1,2 miliar seolah terhenti di tengah jalan.
“Dana sebesar itu patut dipertanyakan efektivitasnya. Apakah output-nya sebanding dengan nilai anggaran?” tanyanya.
Menurutnya, proyek ini menambah panjang daftar masalah pengelolaan sampah di Pematangsiantar, terutama dari sisi transparansi anggaran dan keberhasilan program.
“Pengadaan alat dengan dana besar seharusnya didukung dengan perencanaan matang dan kajian kelayakan yang komprehensif,” ujarnya.
Faktanya, hingga kini DLH baru menghasilkan beberapa sampel paving block tanpa produksi lanjutan. Hal ini memunculkan keraguan terhadap efektivitas investasi publik yang dilakukan.
“Kalau hasilnya hanya beberapa sampel tanpa keberlanjutan, ini bisa dikategorikan sebagai pemborosan anggaran. Ukuran keberhasilan bukan pada pengadaan mesin, tetapi pada dampak nyata dalam pengurangan sampah dan manfaat ekonomi bagi masyarakat,” tandasnya.
Lebih lanjut, Ramainim menegaskan praktik open dumping merupakan pelanggaran berat terhadap Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.
“KLHK seharusnya tidak hanya memberi sanksi administratif, tetapi juga membuka opsi pidana. Ada ancaman kurungan dan denda miliaran rupiah bagi pemerintah daerah yang tidak mematuhi,” tegasnya.
Ia mencontohkan kasus TPA Jatiwaringin di Kabupaten Tangerang, yang menjadi perhatian nasional akibat pencemaran lingkungan parah karena praktik serupa.
“Situasi di Pematangsiantar—dengan mesin pengolah sampah yang belum optimal dan sistem pembuangan sampah yang masih terbuka—adalah alarm keras bagi pemerintah daerah. Ini harus segera dibenahi agar tidak berdampak lebih buruk ke lingkungan dan masyarakat,” pungkasnya.(putra purba)