Kecamatan Tanah Jawa menjadi penerima alokasi pupuk subsidi terbesar dengan total 6.223,29 ton, diikuti oleh Kecamatan Dolok Panribuan dengan total 4.425,12 ton dan Kecamatan Huta Bayu Raja sebanyak 4.125,80 ton.
Simalungun|Simantab – Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Simalungun, Tahun Anggaran 2025 menetapkan alokasi pupuk bersubsidi mencapai total 51.924 ton. Rinciannya, 24.479 ton urea, 24.682 ton NPK, serta 2.763 ton pupuk organik dan NPK Formula A Khusus.
Hal itu disampaikan Kepala Bidang Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Dinas Pertanian Simalungun, Goksan Damanik. Dia menjelaskan, petani yang namanya telah terdaftar dalam sistem Elektronik Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (e-RDKK) sudah dapat mengakses pupuk bersubsidi sejak 1 Januari 2025.
“Petani yang terdata hanya perlu menunjukkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) asli di kios-kios resmi yang telah ditunjuk sebagai penyalur,” ungkapnya, Jumat (16/05/2025).
Adanya beberapa kecamatan di Simalungun mendapatkan alokasi pupuk yang signifikan, kata dia, menunjukkan fokus pemerintah daerah dalam pemerataan dukungan pertanian.
Kecamatan Tanah Jawa menjadi penerima alokasi terbesar dengan total 6.223,29 ton, diikuti oleh Kecamatan Dolok Panribuan dengan total 4.425,12 ton dan Kecamatan Huta Bayu Raja sebanyak 4.125,80 ton.
Goksan mengatakan, penyaluran pupuk dapat disesuaikan dengan e-RDKK, bahkan memungkinkan petani menerima jatah pupuk untuk beberapa musim tanam sekaligus jika ketersediaan stok mencukupi.
Ia juga mengimbau petani untuk segera melengkapi dokumen-dokumen yang diperlukan, yang akan dikumpulkan oleh Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) dan dimasukkan ke dalam sistem e-RDKK.
Harga Mahal dan Penyaluran Tidak Tepat Sasaran
Kenyataan pahit diungkapkan, Bona Simanungkalit (40), seorang petani yang masuk ke kelompok tani di Nagori Pematang Kerasaan, Kecamatan Bandar. Dia mempertanyakan efektivitas program subsidi jika harga pupuk di tingkat UD (Usaha Dagang) justru melambung tinggi.
“Kami sangat berharap pada pupuk subsidi, tapi kenyataannya di lapangan seringkali berbeda. Harga urea yang seharusnya bersubsidi kami tebus dengan harga Rp150 ribu per zak, bahkan pupuk Phonska mencapai Rp160 ribu. Ini jauh di atas harga yang seharusnya,” ungkapnya saat dikonfirmasi.
Bona menambahkan, mahalnya harga pupuk ini diperparah dengan praktik pengurangan kuota oleh oknum penyalur.
Sehingga, praktik pengurangan kuota semakin memperburuk keadaan, memaksa petani merogoh kocek lebih dalam untuk membeli pupuk non-subsidi yang harganya jauh di luar jangkauan.
“Jatah pupuk yang seharusnya kami terima seringkali dikurangi oleh UD (Usaha Dagang). Akibatnya, kami terpaksa membeli pupuk non-subsidi yang harganya jauh lebih mahal, atau bahkan tidak memupuk tanaman secara optimal.” ungkapnya.
Dampak dari mahalnya pupuk dan kuota yang tidak mencukupi sangat dirasakan pada pertumbuhan tanaman padi mereka.
“Tanaman jadi tidak sehat, pertumbuhannya terhambat, dan rentan terhadap penyakit. Jika kondisi ini terus berlanjut, hasil panen kami pasti akan menurun drastis,” keluhnya.
Senada, Petani dari Nagori Dolok Marlawan, Kecamatan Siantar, Pardomuan Manurung (48) juga menyampaikan keluhan serupa.
Ia bahkan mengalami situasi yang lebih sulit. Meskipun terdaftar sebagai penerima subsidi, ia dan sekitar 20 kepala keluarga lainnya tidak lagi mendapatkan alokasi pupuk dari kios yang terdaftar di e-RDKK.
“Padahal saat ini, sekitar 170 hektare sawah di dua nagori kami sedang sangat membutuhkan pupuk untuk fase pertumbuhan. Tanaman padi yang sudah berumur 60 hari memerlukan nutrisi yang cukup agar bisa menghasilkan panen yang maksimal. Jika pemupukan terlambat atau tidak optimal, bulir padi bisa kosong dan hasil panen jauh dari harapan,” jelas Pardomuan.
Ia menambahkan, sulitnya mendapatkan pupuk bersubsidi dengan harga terjangkau membuat para petani semakin terpuruk.
“Harga pupuk non-subsidi sangat mahal dan tidak sesuai dengan kemampuan ekonomi kami. Jika kami tidak memupuk dengan dosis yang tepat, kualitas dan kuantitas hasil panen pasti akan menurun. Ini akan sangat berpengaruh pada pendapatan dan kesejahteraan keluarga kami,” ujarnya.
Menurutnya , terdapat sekitar 170 hektare sawah di 2 (dua) Nagori yaitu Nagori Dolok Marlawan dan Nagori Sejahtera, Kecamatan Siantar yang sedang musim tanam padi.
“Kami mohon kepada pemerintah daerah dan pusat untuk mendengarkan keluhan kami. Harga pupuk yang mahal dan sulitnya akses ke pupuk bersubsidi sangat membebani kami,” kata Pardomuan.
Di balik alokasi pupuk bersubsidi yang besar, terungkap sejumlah permasalahan yang dihadapi petani di lapangan. Goksan Damanik mengakui adanya kendala dalam monitoring dan pengawasan peredaran pupuk bersubsidi di Simalungun.
Pelanggaran ini dapat dikenai sanksi pidana dan sanksi administratif, termasuk dicabutnya izin usaha.
Ia mengatakan, Kementerian Pertanian dan aparat penegak hukum akan melakukan pengawasan dan inspeksi rutin terhadap kios-kios pupuk bersubsidi.
“Pelanggaran HET akan ditindak sesuai Pasal 2 Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, yang bisa menjerat pelaku dengan hukuman penjara hingga 20 tahun dan denda maksimal Rp 1 miliar,” kata Goksan.(putra purba)