Oleh: Ichwan Azhari
Hari Kartini 21 April itu benar-benar 100 persen ciptaan Belanda, dikonstruksi dan diperingati untuk kepentingan Belanda. Jika kita baca koran-koran pada masa Belanda ramai sekali peringatan hari Kartini yang dimobilisir pemerintah Belanda, nyaris dari Sabang sampai Merauke.
Pada 21 April 1940 di Orion Booskop Medan, berlangsung meriah peringatan hari Kartini yang diselenggarakan Komite Perajaan RA Kartini. Dalam pidato yang disampaikan Nyonya F. Dasuki yang disampaikan adalah apresiasi pada surat surat Kartini, pada imajinasi Kartini.
Kartini sebenarnya lebih layak diposisikan sebagai pujangga (yang merenung lewat surat) ketimbang pejuang. Kalau mau mengagumi Kartini kagumilah surat-suratnya, juga tragedi hidup pribadinya bukan perjuangannya menentang kolonialisme. Anehnya dalam pelajaran sejarah di SMA, dalam pokok bahasan tokoh-tokoh perempuan Indonesia yang menentang kolonialisme, nama Kartini dimasukkan. Tentu ini menghina Belanda yang begitu menyayangi Kartini.
Lalu Republik Indonesia yang lepas dari jajahan Belanda tanpa bermaksud (tak sengaja) melupakan peran perempuan lain dalam sejarah bangsa lalu meng-copypaste bulat-bulat konstruksi Belanda itu. Kartini yang semula dimanipulir untuk kepentingan pencitraan Belanda itu lalu dijadikan ikon perjuangan perempuan Indonesia. Inilah kehebatan Belanda dan Indonesia.
Saat Indonesia sudah merdeka, koran Belanda terus melakukan agitasi betapa pentingnya Kartini yang dibahas di halaman 1 koran berbahasa Belanda ini. Kartini yang tidak menentang kolonialisme, benar-benar dijadikan Belanda sebagai anak emas dalam konstruksi narasi sejarah perempuan.
Bagi mereka yang pernah belajar sejarah dengan benar, terutama bab “politik etis Belanda” tentu bisa menelusuri kenapa Belanda melakukan ini. Untunglah bahan untuk ini sekarang melimpah di internet, sehingga orang dengan mudah bisa melacaknya.
Padahal tiga ikon Kartini yang diciptakan itu, yakni tokoh emansipasi, penulis buku Habis Gelap Terbitlah Terang dan pendiri sekolah perempuan sama sekali tidak dilakukan Kartini. Andai Kartini hidup dia pasti menentang pencitraan yang tidak dilakukannya itu, seperti dia menentang panggilan bangsawan untuk dirinya sebagai raden yang dianggapnya berlebihan (Bacalah buku Panggil Aku Kartini Saja, Pramoedya Ananta Toer).
Tapi seluruh bangsa yang copy paste Kartini Belanda ini melekatkan tiga citra itu ke sosok Kartini terlebih sekitar tanggal 21 April. Orang tak perlu mempertanyakannya lagi. Inilah yang dinamakan sejarah sudah menjadi mitos dan mitos tidak boleh digugat, pantang atau bakal kualat jika menggugatnya. Atau paling tidak gugatan tidak berguna, tidak diperhatikan orang.
Prof Harsya Bachtiar mungkin cendekiawan kritis Indonesia yang pertama kali menggugat kepahlawanan Kartini dalam buku “Satu Abad Kartini”. Siapa yang pernah membacanya?
Padahal Kartini dalam realitas bahkan dalam sejarah orang Jawa pun tidak begitu penting perannya. Apa pula peran Kartini bagi orang Sunda, Aceh, Minang, Menado, Melayu, Batak, Karo atau lainnya? Mereka ini punya sosok pahlawan perempuannya sendiri, yang lebih dahsyat, pahlawan yang ditenggelamkan narasi Belanda.
Republik Indonesia melanjutkan narasi kolonial itu bahkan kini lebih seru. Tak kedengaran Indonesia berterima kasih pada Belanda yang menemukan dan menciptakan Kartini dalam konstruksi sejarah Indonesia.
Di Hari Kartini, Sejarah Jurnalis Perempuan Lenyap
Salah satu mitos Kartini adalah dia penulis yang hebat dan menerbitkan buku Habis Gelap Terbitlah Terang dan seakan menginspirasi gerakan kaum perempuan.
Tahayul ini begitu kuat menyelusup lewat pelajaran di sekolah-sekolah. Padahal Kartini tidak pernah menulis buku dalam hidupnya, dia hanya menulis surat-surat pribadi yang hanya dibaca oleh orang yang ditujunya.
Jauh setelah dia meninggal barulah surat-surat itu diterbitkan di Belanda tahun 1911 dengan judul Door Duisternis tot Licht: Gedachten Over en Voor Het Javaansche Volk van Raden Ajeng Kartini.
Buku itu pun dterbitkan untuk kepentingan politik etis kolonial dan edisi bahasa Melayunya diterbitkan dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang tahun 1922. Jadi Kartini hanya menulis surat-surat pribadi untuk orang yang terbatas dan bukan untuk publik.
Sementara itu di beberapa kota di Sumatera cukup bukti adanya perempuan yang menulis di surat kabar dan dibaca luas kaum perempuan, se-zaman dengan beredarnya surat-surat Kartini yang dibukukan.
Di Sumatera, kaum perempuan menulis dan menyebarkannya. Dalam pentas rutin peringatan Hari Kartini, para perempuan hebat yang menggugah zamannya itu seakan terkubur dalam timbunan abu sejarah.
Di Sumatera Utara sejak tahun 1919 telah terbit surat kabar dan majalah khusus perempuan yang memperlihatkan telah tampilnya kelompok perempuan modern, terdidik (walau setingkat SMP dan SMA sekarang) dan mampu mengekspresikan diri dan kaumnya melalui media massa khusus.
Menurut identifikasi di Museum Sejarah Pers Medan ada delapan koran perempuan di Sumut: Perempuan Bergerak (Medan, 1919-1920 ), Parsaoelian Ni Soripada (Tarutung , 1927) Soeara Iboe (Sibolga, 1932) Beta (Tarutung, 1933), Keoetamaan Istri (Medan, 1937-1941), Menara Poetri (Medan, 1938), Boroe Tapanoeli (Padang Sidempuan, 1940) Dunia Wanita (Medan, 1949-1980-an).
Penggunaan nama Perempuan Bergerak dengan semboyan untuk menyokong pergerakan perempoean merupakan koran yang dianggap radikal pada zamannya (1919) dengan keberanian yang tidak ditemukan di Pulau Jawa.
Saat ini dalam sejarah pers Sumatera Utara, para perempuan dan wartawati yang “lebih terdidik” (kebanyakan sarjana) tidak memiliki media sendiri. Spirit perempuan berusia belasan tahun yang menerbitkan koran itu (1919-1949) sayangnya kini tidak muncul lagi di kalangan kaum perempuan terdidik lulusan perguruan tinggi yang luar biasa banyaknya.
Di mana ada kini koran perempuan? Perempuan jurnalis kini punya problematika sendiri dalam tekanan zamannya (globalisasi dan kapitalisme) sehingga terkesan tidak selugas dan sehebat mereka ini dulu?
Betapa hebat pun ide-ide dan pemberontakan Kartini melawan kungkungan tradisi Jawa di Jepara dalam surat-suratnya, itu merupakan ekspresi renungan yang dituangkan dalam surat pribadi yang pada saat dia hidup surat-surat itu tidak dibaca oleh kaumnya.
Berpuluh tahun, lagi-lagi dunia pendidikan kita mengkostruksi Kartini secara keliru. Para guru sejarah di sekolah-sekolah perlu memberikan pengetahuan yang benar kepada anak didik, bahwa Kartini menulis surat-surat yang kemudian dibukukan.
Dalam pembelajaran sejarah yang saintifik, para siswa bisa ditugaskan mencari sumber sumber lain (yang kini mulai mudah didapat lewat internet) agar siswa mampu memahami dan menganalisis, di samping surat-surat Kartini ada ratusan karya tulis kaum perempuan lainnya.
Ini akan memperkaya rasa kagum mereka pada bangsa, pada intelektualitas kaum perempuan pada awal abad 20. Dalam periode itu Indonesia tidak hanya memiliki Kartini, tetapi ada banyak perempuan-perempuan lain yang lebih hebat atau sejajar dengan Kartini mulai dari Sulawesi Utara, Jawa Barat, Sumatera Barat, Sumatera Utara, bahkan Aceh.()
Ichwan Azhari adalah seorang sejarawan, pengajar dan Ketua Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan, Medan, Sumatra Utara.
Tulisan ini sudah terbit di Facebook Ichwan Azhari dalam dua tulisan.