Ahli Ekologi Perairan/Iktiologi dari Universitas Sumatera Utara (USU), Nur Rohim mengatakan, restocking hanyalah solusi di hilir dalam langkah-langkah penebaran bibit ikan nila ini sehingga memicu kekhawatiran.
Pematangsiantar|Simantab – Upaya pemerintah daerah melalui program penebaran bibit ikan, atau restocking, kembali bergulir di Kota Pematangsiantar.
Melalui Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Pematangsiantar telah menebar bibit ikan nila di dua lokasi di Kecamatan Sitalasari: Jalan Lapangan Tembak Kelurahan Setia Negara dan Jalan Senang Tani, tepatnya di sungai belakang Masjid Al-Fatih Kelurahan Bah Kapul, Selasa (20/05/2025).
Lima packing bibit ikan telah ditebar di Jalan Lapangan Tembak, dengan perkiraan total seribu bibit lebih untuk kedua lokasi.
Kepala Bidang Perikanan dan Peternakan DKPP Pematangsiantar, Benny Sirait, menjelaskan bahwa program ini adalah bagian dari upaya daerah untuk menjaga kelestarian perairan sekaligus mendorong potensi ekonomi lokal.
“Ini semacam stimulus agar masyarakat, terutama karang taruna dan pihak kelurahan, terpacu untuk melaksanakan kegiatan budidaya dan ekonomi,” tutur Benny saat dikonfirmasi, Senin (02/06/2025).
Benny menuturkan bahwa bibit ikan yang disebar berasal dari Balai Benih Ikan (BBI) milik DKPP Pematangsiantar sendiri, sehingga tidak ada proses karantina khusus karena tidak diambil dari luar pulau.
Namun, anggaran untuk penyediaan bibit ini masuk dalam pos anggaran pengembangan perikanan, yang juga mencakup gaji pegawai, pembelian pakan, dan rehabilitasi kolam.
“Target kami, benih dari kita ini 250 ribu setahun. Kita sebar untuk petani, terus untuk restocking ikan,” jelas Benny.
Ia menyebut bahwa program restocking ini tidak dihitung anggaran spesifik per lokasi, melainkan bagian dari total target benih tahunan. Ia juga menyoroti potensi pengembangan ekowisata memancing.
“Nanti di sana bisa kita tata rapi pinggirannya, agar wisatawan atau tamu lokal bisa mancing-mancing,” imbuhnya.
Benny berharap, setelah penebaran ini, tidak ada lagi praktik penangkapan ikan dengan jala atau setrum untuk beberapa waktu, meskipun durasi pelarangannya diserahkan sepenuhnya kepada pihak kelurahan dan karang taruna.
“Kami hanya menyiapkan bibit. Setelah itu, urusan Karang Taruna dan pihak Kelurahan,” katanya.
Selain itu, program ini juga menunjukkan kelemahan mendasar dalam perencanaan dan evaluasi. Benny Sirait mengakui bahwa DKPP belum sampai pada kajian daya dukung lingkungan secara spesifik.
“Kalau aku pikir, kami itu belum sampai ke situ ya. Malah kami (dinas pertanian) arahkan, sebelum itu besar itu udah harus dipancingi,” ujarnya,
Ia menunjukkan bahwa fokus masih pada penyediaan bibit dan pemanfaatan sesegera mungkin.
Ia membenarkan tanpa kajian daya dukung, overpopulasi bisa terjadi, menyebabkan kekurangan pakan dan masalah ekologis lainnya. Kekhawatiran ini mencerminkan kasus serupa di Danau Toba. Di sana populasi ikan tertentu menjadi berlebihan hingga sulit dikonsumsi atau dijual.
Tak hanya itu, minimnya pengawasan ilmiah juga menjadi sorotan. Ketika ditanya mengenai mekanisme monitoring atau evaluasi pasca-penyebaran, Benny Sirait mengatakan, tidak ada kajian ilmiah berkelanjutan untuk mengevaluasi efektivitas program dan dampak ekologisnya secara konkret.
Soal pengawasan saja diserahkan sepenuhnya kepada pihak kelurahan dan karang taruna tanpa indikator yang jelas.
“Saya pikir nggak sampai ke sana. Artinya gini, sudah disampaikan pimpinan kami kepada Karang Taruna dan pihak kelurahan itu untuk diperhatikan,” ujarnya.
Restocking Nila, Solusi Instan yang Penuh Risiko
Ahli Ekologi Perairan/Iktiologi dari Universitas Sumatera Utara (USU), Nur Rohim mengatakan, restocking hanyalah solusi di hilir dalam langkah-langkah penebaran bibit ikan nila ini sehingga memicu kekhawatiran.
“Restocking hanya menyelesaikan masalah di hilir. Jika masalah utama seperti polusi, perusakan habitat, atau penangkapan ikan ilegal tidak ditangani, maka penebaran bibit ikan hanya akan menjadi solusi sementara yang tidak berkelanjutan,” ujarnya saat dikonfirmasi.
Kritik Nur Rohim ini bukan tanpa alasan. Dia menggarisbawahi beberapa kelemahan mendasar yang sering terjadi dalam program restocking, khususnya dengan menggunakan spesies non-endemik seperti nila.
“Bibit ikan nila yang ditebar bukanlah spesies asli sungai-sungai di Pematangsiantar. Sebagai spesies introduksi yang dikenal adaptif dan agresif, nila berpotensi menjadi invasif. Mereka dapat bersaing ketat dengan ikan-ikan asli sungai untuk mendapatkan pakan dan ruang hidup,” ungkapnya.
Dalam skenario terburuk, nila bahkan bisa memangsa telur atau anakan ikan lokal, yang pada akhirnya dapat menyebabkan kepunahan lokal pada spesies ikan endemik yang kurang kompetitif.
“Apabila bibit ikan nila yang disebar tidak melalui proses karantina dan pemeriksaan kesehatan yang memadai, ada risiko penyebaran penyakit atau parasit ke populasi ikan asli yang mungkin tidak memiliki kekebalan. Selain itu, bibit dari pembenihan massal kadang memiliki kualitas genetik yang kurang baik akibat perkawinan sedarah, yang bisa menurunkan daya tahan hidup mereka di lingkungan alami,” tuturnya.
Wacana ekowisata memancing yang diusung DKPP Pematangsiantar, kata Nur Rohim, memang menarik, dengan harapan masyarakat bisa menikmati kegiatan seperti “pancing massal”.
Namun, pertimbangan Nur Rohim, ekowisata yang berkelanjutan harus didasari pada prinsip konservasi ekologis yang kuat, bukan sekadar penambahan populasi ikan yang mungkin merusak keseimbangan alami.
“Melakukan restocking ibarat terus mengisi ember yang bocor tanpa pernah menambal lubangnya, pada akhirnya membuang-buang anggaran tanpa dapat di audit lebih dalam,” timpalnya.
Dosen Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan di Fakultas Pertanian USU ini mengingatkan, partisipasi aktif masyarakat dalam menjaga kebersihan dan kelestarian sungai, serta edukasi tentang pentingnya ekosistem yang seimbang, adalah kunci keberhasilan jangka panjang.
“Pada akhirnya, keberhasilan program penyebaran bibit ikan tidak hanya diukur dari seberapa banyak bibit yang telah disebar, tetapi dari sejauh mana sungai mampu pulih, keanekaragaman hayati terjaga, dan kesejahteraan para pemburu ikan sungai dan penjala, serta meningkat secara berkelanjutan. Ini membutuhkan pendekatan yang lebih komprehensif, berbasis ilmiah, dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan,” pungkas Nur Rohim.(putra purba)