Proyek irigasi di Pematangsiantar retak sebelum digunakan. Publik soroti mutu pekerjaan, lemahnya pengawasan, dan ancaman pada ketahanan pangan.
Pematangsiantar|Simantab – Suara gemericik air di sawah BP Nauli terdengar tenang, tapi lantai irigasi di bawahnya retak sebelum sempat mengairi ladang. Beton yang baru dibangun pada awal Oktober 2025 itu kini mengelupas, menyisakan pertanyaan: di mana janji ketahanan pangan yang digembar-gemborkan Pemko Pematangsiantar?
Dua proyek jaringan irigasi lanjutan di kota ini tampak rapuh sebelum waktunya. Sementara pihak dinas memilih bungkam, publik mulai meragukan arah pembangunan pertanian Pematangsiantar.
Potret itu menjadi ironi di tengah semangat pemerintah kota memperkuat ketahanan pangan melalui rehabilitasi jaringan irigasi pada akhir tahun anggaran 2025.

Beton Retak, Pengawasan Lemah
Salah satu proyek, Pembangunan Jaringan Irigasi Tingkat Usaha Tani di Matio, Kecamatan Siantar Marimbun – dikerjakan CV TST dengan anggaran Rp198,9 juta menjadi sorotan.
Pantauan di lapangan, Selasa (21/10/2025), menunjukkan beton di beberapa titik kupak-kapik, padahal pekerjaan baru dimulai awal Oktober. Dugaan pun muncul soal campuran beton yang tak sesuai standar serta lemahnya pengawasan dari Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan konsultan pengawas.
Kondisi serupa tampak di Bahkora II, Areal Persawahan Gorga Dusun Suka Selamat Kiri, Kelurahan BP Nauli. Proyek senilai Rp199 juta oleh CV Ganda Uli Marsinondang juga menyisakan masalah: plesteran mengelupas dan bekas galian belum tertimbun.
Bungkamnya Pejabat
Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Kota Pematangsiantar, Legianto Pardamean Manurung, enggan berkomentar banyak. Ia hanya menyebut pihaknya sedang menelusuri laporan di lapangan.
“Proyek masih dalam masa pemeliharaan. Kami akan evaluasi hasil pekerjaan dan memanggil pihak rekanan untuk memperbaikinya sesuai kontrak,” ujarnya, Selasa (21/10/2025).
Ia menambahkan, sepanjang 2025 total panjang irigasi yang direhabilitasi mencapai 3.952 meter, meningkat dari tahun sebelumnya 3.006 meter—angka ambisius, namun tak sejalan dengan kualitas di lapangan.
Soal dugaan kelalaian, Legianto menjawab diplomatis.
“Kalau nanti ditemukan kelalaian, tentu akan kami tindaklanjuti sesuai mekanisme. Tapi jangan buru-buru menuduh korupsi,” ujarnya.
Sementara PPK proyek, Juniar EL Tampubolon, tidak memberikan klarifikasi. Diamnya para pihak menimbulkan tanya: apakah proyek yang seharusnya mendukung petani justru membuka celah penyimpangan?
Suara Petani
Warga sekitar proyek di BP Nauli mengaku kecewa.
“Beton baru setahun, tapi sudah hancur di beberapa titik. Kalau air deras, bisa longsor ke sawah,” kata seorang petani yang enggan disebut namanya.
Ia menilai mutu pekerjaan buruk dan pengawasan lemah.
“Kalau proyek belum setahun sudah rusak, wajar publik menduga ada masalah. Petani yang rugi,” ujarnya.
Masalah Lama yang Tak Pernah Tuntas
Pengamat pertanian Roeskani Sinaga menilai kerusakan irigasi hanyalah puncak gunung es dari krisis tata kelola air pertanian.
“Kerusakan irigasi bukan hanya soal beton, tapi tata kelola air dan manajemen pertanian. Sekitar 60 persen jaringan irigasi belum dimanfaatkan optimal, sementara air digunakan boros,” ujarnya.
Ia menyebut lemahnya koordinasi antarinstansi memperburuk kondisi.
“Dulu urusan air dipegang Kementerian Pertanian dan PUPR, sekarang juga Kementerian Desa. Tapi koordinasinya masih tumpang-tindih,” katanya.
Menurutnya, hingga 2030 kebutuhan air untuk pertanian tetap tertinggi dibanding sektor lain.
“Air kita melimpah, tapi pemanfaatannya tidak efisien. Air tanah dan air hujan belum digarap maksimal,” tegasnya.
Roeskani mengingatkan, bila kondisi irigasi terus rusak sebelum dimanfaatkan, potensi konflik sosial bisa meningkat karena perebutan sumber air.
“Ketika pasokan tak seimbang dengan kebutuhan, muncul perebutan sumber daya. Itu sudah terasa di banyak daerah,” ujarnya.
Integritas Lebih Penting dari Infrastruktur
Di tengah sorotan publik, Pemko Pematangsiantar diharapkan tak sekadar berlindung di balik angka panjang rehabilitasi.
“Proyek seharusnya jadi momentum memperbaiki tata kelola air dan produktivitas petani, bukan sekadar serapan anggaran,” tegas Roeskani.
Ia menutup, “Pemerintah pusat sudah menyiapkan bimbingan teknis embung dan bangunan air. Tapi kalau di daerah pelaksanaannya tidak jujur, semua tinggal program di atas kertas.”
Kini, beton retak di Matio dan BP Nauli menjadi simbol rapuhnya komitmen terhadap ketahanan pangan kota. Air tetap mengalir, tetapi kepercayaan publik mulai mengering.(Putra Purba)