Jika tidak segera ditangani, degradasi lingkungan ini akan menghantam sektor perikanan, pariwisata berkelanjutan, serta kehidupan masyarakat adat yang selama ini bergantung pada kelestarian laut.
Papua Barat|Simantab – Raja Ampat, gugusan pulau menawan di Papua Barat yang dijuluki “surga terakhir” keanekaragaman hayati laut dunia, kini menghadapi ancaman serius. Ekspansi tambang nikel mulai merambah wilayah-wilayah ekologis yang sangat sensitif.
Di balik iming-iming pertumbuhan ekonomi dan investasi, tersembunyi potensi kerusakan lingkungan berskala besar. Aktivitas tambang telah menyebabkan deforestasi, pencemaran air, dan sedimentasi—masalah yang berpotensi merusak ekosistem laut secara permanen.
Sebagai pusat biodiversitas laut global, Raja Ampat menjadi rumah bagi lebih dari 600 spesies terumbu karang dan 1.700 spesies ikan. Namun, kegiatan tambang, termasuk pembukaan lahan dan penggunaan alat berat, telah menyebabkan limpasan sedimen yang menurunkan kualitas air laut dan mengancam habitat terumbu karang.
Jika tidak segera ditangani, degradasi lingkungan ini akan menghantam sektor perikanan, pariwisata berkelanjutan, serta kehidupan masyarakat adat yang selama ini bergantung pada kelestarian laut.
Kekhawatiran terhadap kondisi ini bukan hanya datang dari warga lokal, tetapi juga masyarakat nasional. Kampanye #SaveRajaAmpat menggema luas di media sosial, menunjukkan solidaritas publik terhadap kelestarian alam Papua.
Greenpeace Indonesia bersama masyarakat adat menggelar aksi damai dengan membentangkan spanduk bertuliskan “Save Raja Ampat” dan “Papua Bukan Tanah Kosong”. Aksi ini menyuarakan penolakan terhadap eksploitasi sumber daya alam yang mengabaikan aspek keberlanjutan dan hak-hak masyarakat adat.
Menanggapi isu tersebut, Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq menyatakan akan meninjau langsung lokasi tambang dan mengevaluasi kemungkinan pelanggaran izin lingkungan. Ia menegaskan bahwa sanksi hukum akan diterapkan jika ditemukan pelanggaran dalam praktik pertambangan.
Langkah ini diharapkan menjadi awal dari evaluasi menyeluruh terhadap izin industri ekstraktif, terutama di wilayah konservasi strategis seperti Raja Ampat—yang selama ini menjadi simbol kekayaan laut dan ketahanan ekologis Indonesia.(*)