Kisah janda miskin di Pematangsiantar baru mendapat perhatian pejabat setelah viral. Pengamat menyebut ini sebagai bukti birokrasi reaktif dan lemahnya pendataan sosial.
Pematangsiantar|Simantab – Kisah pilu Mika Pasaribu (61) baru menggema setelah videonya viral saat gagal menemui anggota DPRD untuk meminta bantuan sosial. Sebelumnya, keluhan perempuan lansia yang hidup serba terbatas di Jalan Bah Kora II, Kelurahan Pamatang Marihat, Kecamatan Siantar Simarimbun, hanya berputar di lingkungan terdekatnya.
Setelah pemberitaan meluas, sejumlah pejabat tiba-tiba berdatangan: Camat Alexsandro Siahaan, Kapolsek Siantar Marihat AKP Doni Simanjuntak, hingga Bhabinkamtibmas setempat. Situasi ini memunculkan pertanyaan publik: mengapa pejabat baru turun setelah kisah Mika viral? Di mana peran Dinas Sosial sejak awal?
Sistem Pendataan Tidak Selalu Menjangkau Warga Rentan
Koordinator TKSK Dinsos P3A Pematangsiantar, Armansya Nasution, menjelaskan bahwa penentuan penerima Program Keluarga Harapan (PKH) berada di kewenangan Kementerian Sosial.
“Penerima manfaat terdaftar dalam Data Sosial dan Ekonomi Nasional yang dulu disebut DTKS,” ujarnya, Jumat (14/11/2025).
Ia menyebutkan proses pendataan dimulai dari kelurahan, diteruskan ke dinas, lalu divalidasi Kemensos sebelum ditetapkan melalui surat keputusan menteri. Namun ketika ditanya apakah Mika pernah masuk data, ia tidak dapat memberi kepastian.
Menurutnya, jika seseorang tidak tercatat sejak awal, proses memasukkan ke daftar penerima bantuan tidak bisa dilakukan secara instan. Mekanisme verifikasi yang berlapis membuat warga miskin dapat terlewat dari pendataan formal.
Pertanyaan mendasar pun muncul: bagaimana jika warga dengan kondisi rentan seperti Mika tidak pernah terbaca oleh sistem?
Data Kemiskinan Menurun, Tapi Tidak Menjamin Semua Terjangkau
BPS Pematangsiantar mencatat angka kemiskinan turun dari 7,24 persen pada 2023 menjadi 7,20 persen pada 2024. Angka ini melanjutkan tren penurunan sejak 2022.
Namun penurunan persentase tidak selalu menggambarkan situasi mikro. Banyak warga miskin tidak terdata karena perubahan kondisi sosial mereka tidak terpantau secara berkala oleh kelurahan.
Pejabat Bergerak Setelah Viral?
Pengamat sosial dari Universitas Sumatera Utara, Agus Suriadi, menilai pola respons pejabat yang baru aktif setelah viral merupakan cerminan birokrasi reaktif, bukan proaktif.
“Ketika viral, pejabat merasa ditonton. Sorotan publik membuat respons menjadi cepat,” ujarnya, Jumat (14/11/2025).
Agus menilai persoalan utama berada pada pendataan yang tidak adaptif dan budaya birokrasi yang menunggu laporan daripada mendeteksi masalah lebih awal. Akibatnya, warga seperti Mika hanya terlihat ketika ada tekanan publik atau menjadi bahan pemberitaan.
Menurutnya, viral kadang menjadi satu-satunya pintu agar warga mendapat perhatian. “Yang salah bukan viralnya, tetapi mengapa tanpa viral mereka tidak terbaca,” ungkapnya.
Alex Hendrik Damanik Turun Membawa Bantuan
Salah satu anggota DPRD Kota Pematangsiantar dari Partai Perindo, Alex Hendrik Damanik, terpanggil atas kekurangan Mika Pasaribu. Anggota Komisi III DPRD Pematangsiantar dari Dapil III itu, menyempatkan waktu menemui Mika Pasaribu dan membawa bantuan berupa satu karung beras dan lainnya.
“Semoga bisa membantu satu dua hari. Semoga keluarga Ibu Mika Pasaribu dan kita semua sehat-sehat selalu,” ujar Alex singkat usai memberi bantuan itu.
Menerima bantuan itu, Mika Pasaribu terlihat terharu dan mengucapkan terimakasih kepada Alex Damanik.
Celah Sistemik Terbuka Lebar
Kasus Mika memperlihatkan bahwa penurunan angka kemiskinan tidak otomatis menutup celah dalam pelayanan sosial. Jurang antara data administratif dan kenyataan lapangan masih besar.
Agus menekankan perlunya sistem koreksi cepat, pembaruan data yang lebih aktif, serta budaya birokrasi yang menjemput masalah sebelum terjadi sorotan.
“Kehidupan orang-orang seperti Mika tidak boleh menunggu viral untuk mendapat haknya. Di balik statistik, ada manusia dengan martabat yang harus dihormati,” tegasnya.(Putra Purba)







