Kehadiran Rocky Gerung bukan hanya soal antusiasme warga, tetapi juga menjadi cermin bagi elite lokal.
Simalungun|Simantab – Angin sejuk Danau Toba yang berembus dari tepian Parapat tak hanya membawa wisatawan, tetapi juga kabar tentang rencana kedatangan Rocky Gerung pada pertengahan Oktober mendatang dalam acara Silaturahmi Nasional dan Launching Semangat Baru Indonesia, Parapat, 18 Oktober 2025.
Figur yang dikenal karena tutur lugas dan kritik pedasnya itu diperkirakan akan menjadi magnet, sekaligus menimbulkan riak perdebatan di tanah Simalungun.
Bagi sebagian kalangan, kehadiran Rocky dipandang sebagai peluang untuk menyalakan api diskusi publik. Namun bagi yang lain, ia bisa memicu kontroversi yang tidak ringan.

Politik Lokal vs Politik Nasional
Pengamat politik dari Universitas Sumatera Utara, Indra Fauzan, menilai kehadiran Rocky Gerung tak bisa dilepaskan dari konteks demokrasi yang tengah berjalan. Menurutnya, Rocky adalah figur yang menguji sejauh mana publik sanggup menerima perbedaan gagasan.
“Di satu sisi, masyarakat butuh ruang untuk mendengar suara-suara kritis. Tetapi di sisi lain, kita juga perlu memastikan bahwa ruang itu tetap sehat, tidak berubah menjadi ajang saling serang atau provokasi,” ujar Indra saat dihubungi, Jumat (26/9/2025).
Ia mengingatkan, Simalungun memiliki sejarah panjang sebagai daerah dengan pluralitas tinggi. Kehadiran Rocky sebaiknya dilihat sebagai momentum untuk menguji kedewasaan masyarakat dalam menyikapi perbedaan.
“Kalau forum ini mampu dijaga sebagai ruang diskusi yang beradab, justru nilai tambahnya sangat besar. Masyarakat kita bisa belajar bagaimana kritik dan ide diperdebatkan tanpa harus menimbulkan keretakan sosial,” tambahnya.
Namun, Indra juga memperluas pandangannya ke ranah politik nasional. Menurutnya, demokrasi Indonesia kini tengah diuji oleh kecenderungan mengecilnya ruang kritik.
“Ada gejala di mana suara-suara kritis dipersempit, sementara narasi politik lebih banyak dikuasai oleh kepentingan elektoral dan manuver elite. Kehadiran Rocky Gerung di Simalungun adalah simbol perlawanan intelektual terhadap pembungkaman itu,” jelasnya.
Ia menilai, forum seperti ini jangan dipandang semata sebagai hiburan politik.
“Politik kita sekarang lebih banyak dihitung dari siapa dapat tiket partai, siapa yang kuat di media sosial. Padahal yang seharusnya lebih penting adalah bagaimana publik bisa menguji gagasan. Kalau Simalungun berani membuka ruang itu, maka ia memberi contoh bahwa demokrasi sehat tidak hanya lahir di Jakarta, tapi juga di daerah,” ungkapnya.
Bagi Indra, kehadiran Rocky bukan hanya soal antusiasme warga, tetapi juga menjadi cermin bagi elite lokal.
“Akan terlihat siapa yang terganggu, siapa yang terbuka. Itu ujian budaya politik kita: apakah siap mendengar kritik atau masih alergi pada perbedaan,” tutupnya.
Sebagai Bentuk Kebebasan Berpendapat
Sementara itu, Daniel Gulo, Ketua Umum UKM Pers dan Sastra Samudera Universitas Simalungun, menegaskan bahwa mahasiswa tidak boleh hanya menjadi penonton dalam peristiwa semacam ini. Menurutnya, Rocky Gerung bukan sekadar tokoh kontroversial.
“Ia adalah simbol dari perdebatan intelektual yang harus dihadapi, bukan dihindari. Kalau kampus-kampus di Simalungun berani membuka ruang, maka mahasiswa bisa belajar langsung tentang bagaimana berpikir kritis, bagaimana menguji argumen, dan bagaimana merespons dengan kepala dingin,” ujarnya.
Daniel menekankan, tantangan terbesar justru ada pada kesiapan publik serta mahasiswa di wilayah Pematangsiantar-Simalungun.
“Jangan sampai kita hanya terpancing dengan narasi bombastis. Sebaliknya, kita harus berani mengolah setiap pernyataan menjadi refleksi: apa manfaatnya bagi masyarakat, bagaimana relevansinya untuk pembangunan daerah, dan apa yang bisa dipelajari untuk masa depan,” timpalnya.
Antara Harapan dan Kekhawatiran
Di tengah optimisme tersebut, terselip pula kecemasan. Sebagian kalangan masyarakat khawatir kedatangan Rocky bisa menimbulkan gesekan sosial. Namun Indra mengatakan bahwa kunci ada pada pengelolaan forum.
“Kalau panitia mampu merancang acara dengan baik, menghadirkan narasumber berimbang, dan mengedepankan etika, maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” kata Indra.
Daniel menambahkan bahwa yang paling penting adalah memastikan publik tidak hanya menjadi pendengar pasif serta perlunya ruang dialog.
“Karena esensi pendidikan politik bukan terletak pada siapa yang bicara, melainkan bagaimana masyarakat bisa menanggapi dengan matang sebagai bentuk kebebasan berpendapat terbangun,” tutupnya.
Forum Rocky Gerung Diyakini Akan Kondusif di Simalungun
Di sisi lain, pengamat pendidikan, Bismar Sibuea, menilai kehadiran Rocky Gerung dalam forum terbuka di Parapat pada 18 Oktober mendatang merupakan sebuah gebrakan positif. Menurutnya, masyarakat Siantar-Simalungun patut menyambut momen ini sebagai ruang diskusi yang sehat.
“Rocky Gerung memang dikenal dengan narasi-narasinya yang provokatif. Tapi provokatif itu tidak selalu bermakna negatif. Jika isi provokasinya baik dan berbasis data, justru itu bisa menjadi stimulus yang penting bagi publik,” ujarnya.
Bismar menambahkan, sebagian masyarakat Indonesia memang belum terbiasa dengan adanya perbedaan pendapat. Padahal, Rocky dikenal selalu berargumentasi dengan basis data yang kuat.
“Sekitar 80 persen argumen yang ia bangun bersandar pada data, dan lebih dari 70 persen prediksi yang pernah ia sampaikan terbukti mendekati kebenaran. Jadi, jika ada perbedaan pendapat, itu hal yang wajar saja. Silakan saja dibantah dengan argumentasi yang berimbang,” jelasnya.
Ia juga menekankan, dengan semakin banyaknya kalangan intelektual di masyarakat, kegiatan ini diyakini akan berjalan kondusif. Apalagi, panitia penyelenggara melibatkan pihak yang memiliki legitimasi pemerintahan serta sudah mendapat izin resmi.
“Jadi, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Bahkan tokoh-tokoh masyarakat tidak perlu terlalu khawatir berlebihan, karena forum ini akan terkendali,” katanya.
Meski begitu, Bismar mengingatkan bahwa diskusi tetap harus dimaknai dengan hati-hati.
“Narasi Rocky Gerung memang provokatif, tetapi tugas jurnalis dan akademisi adalah menetralisasi dan menjelaskan maksud sebenarnya. Sebab interpretasi masyarakat awam bisa berbeda dengan interpretasi kalangan intelektual. Di situlah pentingnya kaum intelektual dan media untuk mendeskripsikan argumen Rocky secara menyeluruh. Jangan hanya menangkap sepatah-sepenggal kalimat, karena maksudnya bisa lebih holistik dan komprehensif,” tegasnya.
Menunggu Oktober
Kini, Simalungun bersiap menunggu Oktober. Di balik gemuruh nama Rocky Gerung, yang lebih utama adalah apakah tanah ini sanggup menjadikan peristiwa itu sebagai momentum belajar demokrasi.
Di tepi Danau Toba, udara sejuk tak henti mengalir. Sama seperti ide-ide yang akan segera hadir, dingin, segar, tapi bisa juga menusuk jika tidak siap menerimanya.(Putra Purba)