Sejumlah guru, baik itu SDN dan SMPN di Pematangsiantar, terpantau memiliki hubungan tidak harmonis dengan kepala sekolah.
Pematangsiantar|Simantab – Ini tentang dunia pendidikan, ada ungkapan yang kerap diajarkan di sekolah. “Sepandai-pandainya tupai melompat, suatu saat akan jatuh juga” dan “Bau bangkai tak bisa disembunyikan”.
Ungkapan terakhir, sepertinya bisa menggambarkan masalah yang terjadi di tubuh pendidikan Kota Pematangsiantar.
Kepala Dinas Pendidikan Kota Pematangsiantar, Hamdani Lubis, mengakui terjadinya sejumlah polemik itu. Ditengarai, penyebabnya terkait pengurangan jam mengajar yang dilakukan Plt Kepsek terhadap guru.Dampaknya, sejumlah guru, baik itu SDN dan SMPN, terpantau memiliki hubungan tidak harmonis dengan kepala sekolah.
“Memang benar, ada sekitar 41 laporan yang masuk. 30 dari SDN dan 11 dari SMPN,” jawab Hamdani Lubis, saat dikonfirmasi, Selasa (29/04/2025).
Lubis mengatakan, pihaknya telah menindaklanjuti beberapa laporan dan telah memberikan arahan kepada seluruh Plt Kepala Sekolah untuk tidak melampaui kewenangan mereka.
“Kami sudah arahkan semua Plt kepala sekolah, tidak boleh keluar dari kewenangannya. Tidak boleh mengubah anggaran, mengubah status kepegawaian, memindahkan atau memutuskan,” jelasnya.
Sedikit berdalih, Hamdan Lubis mengatakan, polemik itu muncul akibat jumlah guru di setiap UPTD melebihi kuota.
Untuk mengatasi masalah ini, beberapa UPTD mengambil kebijakan untuk membagi jam mengajar.
Jika selama ini guru dibebankan 24 jam tatap muka per minggu, kini beberapa guru hanya dijadwalkan mengajar selama 12 jam.
Bagi sejumlah guru, terlebih yang terdampak, perubahan ini membuat tidak nyaman. Dampak ke kualitas pendidikan, hingga tunjangan sertifikasi mereka menjadi persoalan,
Terbaru, seorang guru PPPK SDN 122368, Sosius Sinambela buka suara. Dia mengungkapkan, praktik tak lazim yang dialaminya.
“Awalnya saya pikir hanya saya yang mengalami. Ternyata, banyak rekan guru lain yang merasakan hal serupa,” ungkapnya, Selasa (29/4/2025).
Kisah Sosius bermula saat jabatannya sebagai wali kelas diambil alih secara sepihak oleh Plt Kepala Sekolah UPTD SDN 122368, Husnayati Lubis. Tindakan ini, menurutnya, berimbas langsung pada terhambatnya pencairan tunjangan sertifikasi yang seharusnya menjadi haknya.
Tak hanya itu, Sosius juga menyoroti adanya perubahan struktur organisasi sekolah yang dianggapnya janggal dan melampaui batas wewenang seorang Plt. Ia menduga, perubahan ini sarat akan kepentingan pribadi.
“Saya tiba-tiba menerima SP 2. Sungguh mengejutkan. Setelah itu, intimidasi dan ancaman mulai saya rasakan. Bukan hanya dari Plt Kepala Sekolah, tapi juga dari orang-orang yang katanya ‘anak emas’ di sekolah dan bahkan di Dinas Pendidikan,” ungkap Sinambela dengan raut wajah kecewa.
Dampak tekanan itu, Sosius membuka tabir dugaan praktik jual beli atribut sekolah, yang disebutnya diinisiasi oleh Plt Kepala Sekolah.
“Sekolah melalui kepala sekolah, guru, atau komite memperjual belikan atribut di lingkungan sekolah. Atribut pramuka dijual dengan harga Rp18.000. Kan itu, bertentangan dengan peraturan pemerintah dan juga Permendikbud. Ini sudah keterlaluan. Sekolah seharusnya menjadi tempat belajar, bukan lahan bisnis,” ujarnya.
Praktik yang sudah lama terjadi itu, disayangkannya, tidak segera direspon pihak terkait.
Keresahan sejumlah guru, seperti Sosius Sinambela itu, mendapat perhatian pengamat pendidikan Kota Pematangsiantar, Bismar Sibuea.
“Informasi yang saya terima sangat sensitif. Jika benar wali kelas dicopot dan akibatnya tidak mendapatkan tunjangan sertifikasi, ini bisa sangat mempengaruhi profesionalisme guru dalam mengajar,” ujarnya.
Sibuea mengkritisi kebijakan penggantian wali kelas oleh Kepala Sekolah secara langsung, sebagai tindakan subjektif yang berpotensi merugikan guru.
“Kenapa kepala sekolah mengganti wali kelas tersebut dengan dirinya sendiri, apalagi sampai berakibat pada tidak keluarnya sertifikasi guru? Ini jelas masalah yang harus diselesaikan,” ujarnya.
Sibuea mengingatkan, sebagai Plt Kepsek, tugasnya lebih memikirkan fungsi manajerial. Meskipun regulasi memperbolehkan Plt Kepala Sekolah mengganti wali kelas, Sibuea menilai tindakan menggantikannya dengan diri sendiri sebagai hal yang “sedikit aneh”.
Adanya praktik dagang atribut sekolah, kata Sibuea, bisa menjadi bom waktu yang memicu ketidakharmonisan di sekolah. Sikap otoriter, jualan atribut merupakan praktik kotor yang seharusnya bersih dari dunia pendidikan.
Ia berharap kasus ini menjadi pelajaran penting tentang profesionalisme, etika kepemimpinan, dan perlindungan hak-hak guru.
“Dinas Pendidikan harus segera bertindak tegas dan transparan demi lingkungan belajar yang kondusif dan berintegritas,” katanya.(putra purba)