Jakarta – Dalam pidato kenegaraan pada 16 Agustus 2021, Presiden Jokowi menyinggung kritik masyarakat penting dan mengapresiasi budaya demokrasi tersebut.
Presiden juga menyatakan bahwa pemerintah selalu menjawab kritikan dengan pemenuhan tanggung jawab sebagaimana yang diharapkan rakyat.
“Namun klaim presiden tersebut justru berbanding terbalik dengan data dan bukti yang ada,” kata peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Sustira Dirga, dalam keterangan pers, Senin, 16 Agustus 2021.
Dia mengungkap, berdasarkan the Economist Intelligence Unit (EIU), Indonesia menduduki peringkat ke-64 dunia dalam Indeks Demokrasi dengan skor 6.3, yang merupakan skor terendah Indonesia sepanjang 14 tahun terakhir.
Penilaian dari Freedom House juga masih memberikan total skor 59 dari 100 dengan status partly free untuk akses masyarakat terhadap hak-hak politik dan kebebasan sipil di Indonesia (data per 16 Agustus 2021).
Sebelumnya, Survei Indikator Politik Indonesia kepada 1.200 masyarakat di seluruh Indonesia pada 25 Oktober 2020 juga menunjukkan 36 persen responden yang mengakui Indonesia menjadi negara yang kurang demokratis dan 47,7 persen responden yang menyatakan agak setuju bahwa publik semakin takut menyatakan pendapat.
Tidak hanya itu, 57,7 persen responden bahkan juga menilai aparat semakin bersikap sewenang-wenang dalam menangkap warga yang berbeda pandangan politik dengan penguasa.
Dalam situasi demokrasi yang sudah melemah ini, juga diperparah dengan sikap pemerintah yang berencana mengesahkan Rancangan KUHP
“Hal ini bisa secara praktis kita rasakan melihat sikap aparat yang represif dan berlebihan dalam menanggapi kritik masyarakat jelas menimbulkan iklim ketakutan bagi publik untuk menyampaikan pendapat dan kritiknya,” tukas Sustira.
Terakhir Indonesia dihebohkan dengan penghapusan mural bergambar wajah dengan tulisan 404: Not Found di Tangerang yang dihapus oleh Polres Metro Tangerang Kota dan telah dilakukan pemeriksaan terhadap dua orang saksi.
Kepolisian menyatakan bahwa tindakan pembuatan mural itu dianggap menghina Presiden Jokowi sebagai lambang negara. Kejadian penghapusan mural dan perburuan yang dilakukan oleh kepolisian kepada para pembuatnya jelas mengakibatkan iklim ketakutan berpendapat dan berekspresi yang bertentangan dengan semangat demokrasi yang disampaikan presiden pada pidatonya.
Hal tersebut sebenarnya, ujar Sustira, juga tidak lepas dari masalah carut-marut penegakan hukum yang ditimbulkan oleh rumusan norma pidana dalam undang-undang, salah satu yang paling bermasalah adalah UU ITE yang memuat pasal-pasal dengan rumusan karet dan tidak memenuhi standar hukum pidana.
Tidak hanya dari segi norma, penerapan UU ITE oleh aparat di lapangan pun juga masih bermasalah dan tidak sesuai dengan arahan SKB UU ITE sebagaimana dijanjikan oleh pemerintah.
Respons pemerintah yang berniat untuk menyelesaikan problematika UU ITE dengan penerbitan SKB UU ITE tersebut sayangnya sama sekali tidak menyelesaikan masalah.
Sebab memang sudah seharusnya penyelesaian masalah UU ITE berangkat dari akar masalahnya, yakni dengan merevisi UU ITE itu sendiri untuk menghapuskan pasal-pasal karet di dalamnya.
“Dalam situasi demokrasi yang sudah melemah ini, juga diperparah dengan sikap pemerintah yang berencana mengesahkan Rancangan KUHP (RKUHP) yang masih mengandung pasal-pasal pembunuh demokrasi,” ungkapnya kemudian.
Beberapa di antaranya yakni pasal pidana bagi penghinaan presiden dan wakil presiden (Pasal 218-220 RKUHP), penghinaan pemerintah (240-241 RKUHP), penghinaan kekuasaan umum dan lembaga negara (353-354 RKUHP), penghinaan peradilan atau contempt of court (281 RKUHP), hingga penyelenggaraan pawai, unjuk rasa, dan demonstrasi tanpa izin (273 RKUHP).
Ketika nanti RKUHP disahkan, keberadaan pasal-pasal tersebut yang juga ternyata dirumuskan secara luas dan multitafsir akan dipastikan semakin mengancam kelangsungan demokrasi di Indonesia.
Untuk itu, dalam peringatan hari Kemerdekaan Republik Indonesia tahun ini, ICJR kata dia, kembali menyerukan agar pemerintah konsisten, baik dalam pernyataan maupun kebijakan dan implementasi dalam menanggapi kritik masyarakat.
Presiden utamanya perlu menginstruksikan Kapolri agar aparat di bawahnya tidak secara berlebihan dan menjurus pada sewenang-wenang dalam merespon penyampaian kritik maupun bentuk ungkapan ekspresi lainnya dari masyarakat.
“Pemerintah termasuk aparat seharusnya dapat memberikan bukti terciptanya suasana yang kondusif di lapangan bagi masyarakat untuk secara bebas menyampaikan pendapat dan pemikirannya, bukan hanya sebatas dalam teks pidato presiden,” tansdnya.[]