Di tengah kemajuan Kota Pematangsiantar, Nurlela Purba hidup di lahan garapan tanpa pernah mendapat bantuan sosial. Kisahnya menjadi cermin warga miskin yang terlupa oleh sistem negara.
Pematangsiantar|Simantab – Di tengah geliat pembangunan dan citra kota yang dikenal ramah dan toleran, masih ada kisah getir tentang mereka yang terpinggir di tepian kota.
Nurlela Purba, seorang ibu dengan empat anak, tinggal di Kampung Baru, Kelurahan Gurilla, Kecamatan Siantar Sitalasari. Di rumah sederhana di atas lahan garapan perkebunan, ia berjuang menghidupi keluarganya tanpa pernah tersentuh satu pun program bantuan sosial pemerintah.
“Nama kami jelas ada di KTP dan kartu keluarga, alamat pun di Kelurahan Gurilla. Tapi sampai sekarang belum pernah dapat bantuan apa pun. Katanya, karena kami tinggal di lahan garapan,” tutur Nurlela lirih, Kamis (9/10/2025).

Ia mengaku sudah beberapa kali menyampaikan keluhan ke pihak kelurahan, tetapi jawabannya selalu sama: terbentur aturan administratif.
“Sudah pernah kami sampaikan. Katanya tidak bisa dimasukkan karena status tanah kami bukan milik sendiri,” ujarnya.
Tinggal di Lahan Garapan, Tak Terdata di Sistem
Lurah Gurilla, Mahraini, membenarkan bahwa keluarga Nurlela belum masuk daftar penerima bantuan sosial.
“Secara administrasi mereka memang warga kami. Tapi karena tinggal di lahan garapan, sistem tidak bisa memproses datanya ke usulan bantuan,” jelasnya.
Pihak kelurahan, kata Mahraini, sudah berkoordinasi dengan kecamatan dan Dinas Sosial untuk mencari solusi agar warga seperti Nurlela tidak terus terpinggirkan hanya karena status tanah.
“Kami tetap berupaya agar masyarakat yang benar-benar membutuhkan bisa diakomodasi. Tapi memang perlu mekanisme khusus karena semua data terhubung ke sistem Kemensos,” tambahnya.
Ia menyebut, ada sekitar 30 kepala keluarga di Gurilla yang hidup di lahan garapan dengan kondisi ekonomi lemah. “Data kami mencatat sekitar 30 KK tinggal di lahan garapan. Mereka rata-rata belum mendapat bantuan karena kendala sistem administrasi,” ujarnya.
TKSK: Penetapan Ada di Pusat
Koordinator Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) Pematangsiantar, Armansya Nasution, menjelaskan bahwa keputusan penerima bantuan sosial sepenuhnya ditetapkan oleh Kementerian Sosial (Kemensos).
“Data dari kelurahan dikumpulkan dan diverifikasi oleh Dinas Sosial. Tapi keputusan akhirnya ada di Kemensos, bukan di pemerintah daerah,” katanya.
Armansya menegaskan, penerima manfaat harus terdaftar dalam Data Sosial dan Ekonomi Nasional (DTSEN), yang dulu dikenal sebagai DTKS.
“Sasaran utama PKH adalah keluarga miskin yang memenuhi kriteria tertentu (punya anak sekolah, balita,) atau lansia. Tapi datanya harus valid dan terdaftar di sistem,” jelasnya.
Ia menambahkan, penentuan penerima bantuan tidak berdasarkan status tanah, melainkan kondisi sosial ekonomi rumah tangga.
“Artinya, masyarakat di lahan garapan tetap bisa dapat bantuan, asalkan memenuhi kriteria,” katanya.
Meski begitu, tidak semua warga yang diusulkan otomatis diterima. Pemerintah kelurahan melalui musyawarah lokal biasanya menetapkan tambahan daftar penerima untuk program seperti BLT Dana Desa. Namun banyak warga gagal diverifikasi karena masalah data kependudukan atau alamat yang tidak sesuai.
“Kadang, yang tinggal di lahan garapan sulit masuk sistem karena belum punya dokumen resmi,” ujarnya.
Menanti Negara Hadir
Kisah Nurlela mencerminkan ketimpangan sosial yang masih membayang di Kota Pematangsiantar. Di satu sisi, pemerintah terus membangun sistem digitalisasi data untuk menyalurkan bantuan tepat sasaran. Namun di sisi lain, masih ada warga yang terlewat hanya karena batas administratif.
Nurlela tidak menuntut banyak. Ia hanya ingin kesempatan yang sama untuk mendapatkan hak dasar yang dijanjikan negara.
“Kalau tanah kami tidak diakui, setidaknya jangan anak-anak kami yang jadi korban. Mereka juga butuh makan, butuh sekolah,” ucapnya dengan mata berkaca-kaca.
Baik pihak kelurahan maupun TKSK mengaku siap memperbarui data warga miskin agar kasus serupa tidak terus berulang. Diharapkan, kebijakan yang lebih fleksibel bisa memberi ruang bagi warga di lahan garapan untuk ikut terdata sebagai penerima manfaat.
Sementara itu, di bawah langit senja Gurilla, Nurlela masih menanti. Ia menunggu hari ketika namanya benar-benar tercatat, bukan sekadar deretan angka dalam kartu keluarga, tapi juga bagian dari warga yang diakui dan diperhatikan negaranya.(Putra Purba)