Pemkab Simalungun berencana menjadikan bahasa, uhir, dan seni budaya Simalungun sebagai pelajaran muatan lokal di sekolah. Upaya ini bertujuan menanamkan kembali identitas budaya kepada generasi muda.
Simalungun|Simantab – Di tengah derasnya arus modernisasi dan pengaruh budaya digital, Pemerintah Kabupaten Simalungun berupaya menjaga identitas daerah melalui jalur pendidikan. Bahasa, uhir (ornamen khas), dan seni budaya Simalungun kini disiapkan menjadi mata pelajaran muatan lokal di seluruh sekolah dasar dan menengah.
Langkah ini bukan sekadar kebijakan administratif, melainkan upaya konkret untuk menanamkan kembali akar budaya Simalungun kepada generasi muda.
Kepala Bidang Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan Simalungun, Eka Chandra Barus, mengatakan tim penyusun sedang menyiapkan rancangan Peraturan Bupati tentang muatan lokal. Selama ini, pelaksanaan muatan lokal di sekolah belum seragam dan tidak terarah.

“Dasar hukumnya sudah ada, hanya saja belum diterapkan secara menyeluruh. Peraturan ini nantinya akan mengatur teknis, mulai dari isi materi, pengajar, hingga pelaksanaannya,” ujarnya, Jumat (31/10/2025).
Tiga unsur utama yang akan menjadi fokus pelajaran tersebut adalah bahasa daerah, uhir (ornamen khas), serta seni budaya seperti tarian tradisional Dihar.
“Bahasa adalah jantung budaya, uhir ekspresi visualnya, dan seni tradisional adalah ruhnya,” ucapnya.
Dinas Pendidikan menggandeng Partuha Maujana Simalungun (PMS) dan berbagai komunitas budaya untuk merancang materi pelajaran agar lebih kontekstual.
“Kami ingin anak-anak tidak hanya mempelajari teori, tetapi memahami makna di balik setiap simbol dan gerak budaya Simalungun,” tambah Eka.
Ia menegaskan, tujuan utama kebijakan ini bukan menambah beban pelajaran, melainkan memperkenalkan kembali identitas budaya Simalungun kepada siswa. Namun, ia mengakui tantangan terbesar ada pada ketersediaan guru yang memahami bahasa dan budaya daerah. Karena itu, pelatihan dan pendampingan akan menjadi prioritas, dengan melibatkan sanggar budaya serta komunitas lokal.
Seniman dari Sanggar Budaya Rayantara, Sultan Saragih, menyambut baik kebijakan tersebut. Ia menyebut langkah itu sebagai kabar yang lama dinantikan pelaku seni.
“Selama ini anak-anak lebih sering belajar tari modern. Mereka jarang mengenal Dihar, tarian kebanggaan Simalungun yang penuh filosofi,” ujarnya, Sabtu (1/11/2025).
Menurut Sultan, pelajaran seni budaya harus disertai praktik langsung. Anak-anak perlu diajak menari, melukis uhir, memainkan alat musik, dan menulis dalam bahasa Simalungun.
“Budaya hidup kalau dipraktikkan, bukan dihafal. Dengan begitu, mereka tidak merasa asing dengan budayanya sendiri,” katanya.
Ia menambahkan, pelajaran ini akan menumbuhkan kebanggaan lokal di kalangan siswa. “Anak-anak Simalungun harus bangga ketika menari Dihar. Kalau sejak kecil mereka mengenal budayanya, identitas itu akan melekat seumur hidup,” ujarnya.
Sekretaris Komisi IV DPRD Simalungun, Erwin Parulian Saragih, juga mendukung penuh rencana ini.
“Ini bukan sekadar pelajaran tambahan, tetapi bagian dari pembentukan karakter anak-anak Simalungun,” ucapnya.
Namun, ia mengingatkan agar pelaksanaan kebijakan tidak tergesa-gesa tanpa kesiapan. Pemerintah perlu menyiapkan guru, modul, dan dukungan anggaran yang memadai dalam APBD 2026.
“Pelestarian budaya tidak cukup dengan semangat saja, tapi harus diiringi investasi nyata,” katanya.
Erwin juga menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor antara Dinas Pendidikan, Dinas Kebudayaan, dan para seniman lokal.
“Semua pihak harus terlibat, karena para pelaku seni paling tahu denyut budaya Simalungun dari akarnya,” tegasnya.
Bagi Eka, Sultan, dan Erwin, tujuan akhirnya sama: memastikan budaya Simalungun tetap hidup di ruang belajar.
“Kalau anak-anak tahu dari mana asalnya, mereka tidak akan kehilangan arah. Budaya bukan masa lalu, tapi cermin yang menuntun kita ke masa depan,” pungkas Sultan.(Putra Purba)






