Pematangsiantar menghadapi gejala deindustrialisasi. Banyak pabrik tutup, sektor jasa tumbuh tanpa daya serap tenaga kerja. Pengamat menilai kota ini masih bisa bangkit melalui reindustrialisasi kecil berbasis industri lokal.
Pematangsiantar|Simantab – Dulu, suara mesin pabrik dan langkah buruh menjadi bagian dari kehidupan di sudut-sudut Kota Pematangsiantar. Kini, suasana itu nyaris hilang. Kawasan industri yang pernah ramai berubah menjadi gudang, pertokoan, bahkan perumahan. Kota yang dulu dikenal dengan geliat industrinya kini lebih bergantung pada sektor jasa dan perdagangan.
Sejak 1957, Pematangsiantar sempat menjadi kota industri penting di Sumatera Utara. Pabrik kertas, pengalengan nanas, pemintalan benang rami, hingga industri rokok beroperasi di sini. Namun, satu per satu tutup, menyisakan hanya sedikit industri besar yang masih bertahan.
Pengamat ekonomi Darwin Damanik menyebut kondisi ini sebagai tanda deindustrialisasi ringan yang sedang melanda kota tersebut.

“Selama lima tahun terakhir, Pematangsiantar menunjukkan gejala deindustrialisasi. Industri besar dan menengah menurun, sementara industri kecil berjuang untuk bertahan,” ujarnya, Sabtu (11/10/2025).
Darwin menjelaskan, deindustrialisasi di Pematangsiantar merupakan bagian dari pergeseran ekonomi yang dialami banyak kota menengah di Indonesia. Infrastruktur yang belum memadai (mulai dari transportasi, energi, hingga logistik) membuat biaya produksi tinggi dan investasi sulit berkembang.
“Banyak pelaku usaha memilih keluar karena biaya logistik dan pasokan bahan baku tidak efisien,” katanya.
Menurutnya, pergeseran dari industri ke jasa bisa saja wajar, tetapi tanpa kesiapan struktural, hasilnya hanyalah ilusi pertumbuhan. Ekonomi tampak tumbuh, tetapi lapangan kerja produktif justru berkurang.
“Sektor jasa memang mendominasi, namun tanpa penyerapan tenaga kerja formal, pertumbuhannya tidak berkelanjutan,” ujarnya.
Data Badan Pusat Statistik tahun 2024 mencatat Tingkat Pengangguran Terbuka di Pematangsiantar sekitar 8 persen, dengan sekitar 12 ribu warga menganggur. Meski sedikit menurun dibanding tahun sebelumnya, angka ini masih di atas rata-rata provinsi.
Darwin menilai, melemahnya sektor industri membuat ekonomi kota semakin informal. Banyak warga kini bekerja tanpa kepastian upah dan jaminan sosial. Ia juga menyoroti lemahnya tata ruang kota, sebab banyak kawasan industri lama berubah fungsi menjadi properti komersial.
“Ini membuat ruang bagi investasi baru semakin sempit,” jelasnya.
Meski begitu, Darwin masih optimis. Ia menilai reindustrialisasi kecil masih mungkin dilakukan dengan strategi tepat, seperti insentif pajak, subsidi lahan, atau dukungan infrastruktur.
Salah satu industri yang masih bertahan adalah PT Sumatra Tobacco Trading Company (STTC). Humas perusahaan, Risabdi, menyebut keberadaan STTC bukan sekadar bisnis, tetapi bagian dari denyut ekonomi lokal.
“Ribuan tenaga kerja lokal menggantungkan hidup di sini. Banyak di antaranya generasi kedua dan ketiga dari pekerja lama,” katanya.
Namun, tantangan industri kini makin berat. Kenaikan biaya bahan baku dan energi serta tingginya cukai membuat operasional semakin sulit.
“Kami berharap pemerintah tidak hanya melihat industri sebagai sumber pajak, tetapi juga sumber penghidupan,” ujarnya.
Risabdi menambahkan, pemerintah perlu memberikan kebijakan konkret, seperti insentif fiskal, perbaikan kawasan industri lama, dan penguatan pendidikan vokasi.
Darwin menutup, pemerintah kota seharusnya mulai mengarahkan kebijakan menuju reindustrialisasi kecil berbasis keterampilan dan teknologi.
“Pematangsiantar tidak harus kembali menjadi kota pabrik besar. Cukup dengan mengembangkan industri kecil modern berbasis tenaga kerja lokal, pengangguran bisa ditekan,” ujarnya.
Kini, kota ini berada di persimpangan antara masa lalu industri dan masa depan ekonomi jasa. Masa depan Pematangsiantar akan ditentukan oleh kemauan pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat untuk beradaptasi menghadapi perubahan.(Putra Purba)






