Kasus dugaan pelecehan seksual verbal di UHN Pematangsiantar rampung diselidiki. Tim investigasi menyerahkan hasil ke rektor, namun sorotan publik tertuju pada lemahnya perlindungan korban di kampus.
Pematangsiantar|Simantab – Tim investigasi Universitas HKBP Nommensen (UHN) Pematangsiantar telah merampungkan proses pemeriksaan kasus dugaan pelecehan seksual verbal yang melibatkan seorang dosen berinisial SSb terhadap mahasiswinya, CP.
Kasus ini menarik perhatian publik karena kembali menyoroti lemahnya respons terhadap pelaporan kekerasan seksual verbal di lingkungan akademik.
Ketua Tim Investigasi UHN Pematangsiantar, Hendra Simanjuntak, menjelaskan bahwa seluruh proses pemeriksaan terhadap pelapor, terlapor, dan para saksi telah dilakukan. Saat ini tim tengah memasuki tahap pembacaan serta penandatanganan Berita Acara Pemeriksaan (BAP).

“Proses pemeriksaan sudah rampung. Kini kita menunggu kehadiran pihak-pihak terkait untuk pembacaan BAP dan penandatanganan,” ujar Hendra saat dikonfirmasi, Selasa (7/10/2025).
Menurutnya, tim telah memeriksa delapan orang yang terdiri atas pelapor, terlapor, empat dosen, dan dua mahasiswa. Ia menambahkan, masih ada satu mahasiswa yang belum memenuhi panggilan tim.
“Aturannya jelas. Jika terbukti melanggar, sanksinya akan ditentukan berdasarkan kategori pelanggaran (ringan, sedang, atau berat),” ujarnya.
Hendra menjelaskan bahwa hasil investigasi nantinya akan diserahkan kepada rektor melalui rapat pimpinan universitas untuk menentukan tindak lanjut.
Namun, ia menegaskan bahwa kewenangan tim pencari fakta hanya sebatas ranah internal kampus. Jika laporan yang dilayangkan CP terbukti benar, tim tidak memiliki wewenang membawa kasus tersebut ke ranah hukum.
“Tugas tim pencari fakta hanya pada lingkup internal dan sebatas melaporkan hasil ke rektor. Terkait kemungkinan membawa kasus ini ke jalur hukum, itu bukan wewenang kami,” tegasnya.
Sementara itu, Kasat Reskrim Polres Pematangsiantar, Iptu Sandi Riz Akbar, memastikan bahwa kepolisian akan menindaklanjuti setiap laporan masyarakat dengan cepat dan sesuai prosedur.
“Untuk surat laporan dari kasus mahasiswi UHN belum diterima oleh kami (Polres Pematangsiantar),” tuturnya saat dikonfirmasi, Rabu (8/10/2025).
Ia menyebut, semua laporan yang masuk melalui Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) akan diberikan Surat Tanda Penerimaan Laporan (STPL), dan perkembangan kasus disampaikan melalui surat resmi penyidik (SP2HP).
“Semua laporan polisi, baik di Satreskrim maupun di polsek jajaran, ditangani sesuai SOP (mulai dari penyelidikan hingga penyidikan),” ujarnya.
Mengapa Laporan Pelecehan Verbal Masih Tidak Dipercaya?
Di sisi lain, pendiri Aktivis Perempuan Hari Ini, Lusty Romanna Malau, menyoroti bahwa kasus pelecehan seksual verbal seperti ini sering kali menunjukkan bagaimana pelapor belum mendapat perlindungan dan dukungan memadai, meski laporan telah masuk ke ranah hukum.
Menurutnya, pelecehan verbal kerap dianggap “tidak serius” karena tidak meninggalkan bukti fisik, padahal dampak psikologisnya terhadap korban bisa sangat berat.
“Banyak pelapor akhirnya merasa sendirian. Masyarakat sering kali tidak percaya, bahkan menyalahkan korban. Ini mencerminkan bahwa sistem kita masih abai terhadap bentuk kekerasan yang tidak tampak secara kasat mata,” ujar Lusty saat dihubungi, Rabu (8/10/2025).
Ia juga menyoroti bahwa aparat penegak hukum dan institusi pendidikan masih memandang pelecehan verbal sebagai pelanggaran ringan, bukan bentuk kekerasan seksual yang merendahkan martabat korban.
“Ketika laporan hanya dianggap urusan internal kampus, padahal mengandung unsur pidana, maka ini menunjukkan lemahnya kesadaran lembaga terhadap perlindungan korban,” lanjutnya.
Lusty menekankan pentingnya pendampingan hukum dan psikologis yang menyeluruh bagi korban, serta pelatihan sensitif gender bagi aparat kampus dan penegak hukum.
“Kita butuh sistem yang berpihak pada korban, bukan sekadar formalitas penanganan. Jika tidak, kasus seperti ini hanya akan menjadi berita yang berlalu tanpa perubahan,” tutupnya.
Kasus dugaan pelecehan verbal di UHN Pematangsiantar ini menjadi ujian bagi kampus dan aparat penegak hukum: apakah mereka hanya akan berhenti pada prosedur formal, atau benar-benar menghadirkan keadilan bagi korban yang berani bersuara.(Ronal Sibuea)