Ketua Komisi I DPRD Simalungun, Perikson Purba, mengatakan pihaknya akan membentuk Panitia Khusus (Pansus) guna menelusuri persoalan ini.
Simalungun|Simantab – Polemik rencana konversi kebun teh Bah Butong di Kecamatan Sidamanik, Kabupaten Simalungun, milik PTPN IV, menjadi perkebunan kelapa sawit kian memanas. Masyarakat setempat menolak keras, sementara perusahaan bersikeras melanjutkan dengan alasan optimalisasi lahan.
Alih fungsi ini dikhawatirkan merusak lingkungan, mengancam sumber penghidupan, hingga menimbulkan konflik sosial. Di sisi lain, pihak perusahaan tetap mengklaim langkah ini bertujuan meningkatkan keuntungan, meski kebun teh disebut masih memberi hasil positif.
Warga Melawan, Sawit Dianggap Ancaman
Pangulu Nagori Sidamanik, Darlis Nainggolan, menyuarakan aspirasi warga yang menolak rencana tersebut. Ia menegaskan, masyarakat sudah lebih dulu merasakan dampak negatif dari perkebunan sawit.
“Setiap kemarau, kami selalu mengalami kekeringan. Akibatnya, petani terpaksa saling berebut air hingga terjadi keributan,” ungkap Darlis, Rabu (20/8/2025).
Menurutnya, banjir besar dan tanah longsor juga kerap melanda wilayah itu. Kondisi ini diyakini kuat terkait keberadaan perkebunan sawit di sekitar kawasan.
Darlis menekankan, sikap penolakan ini bukan pendapat pribadi. “Ini aspirasi seluruh masyarakat yang takut kehilangan masa depan mereka. Kami jelas menolak,” tegasnya.
Perusahaan Sebut Kebun Teh Masih Untung
Menanggapi hal itu, General Manager PTPN IV Regional III, Raja Suandi Purba, menyebut kebun teh Sidamanik sebenarnya masih menguntungkan. Menurutnya, sejak tahun lalu hingga Juli tahun ini, kebun teh mencatatkan laba positif.
Ia juga menyinggung adanya fasilitas pengolahan teh dan pembangunan retail yang mendukung pemasaran produk. Raja menekankan, optimalisasi hanya dilakukan di lahan terbengkalai.
“Dari 155 hektar yang diusulkan, hanya 130 hektar di Sidamanik yang akan digarap. Tidak ada satu pun pokok teh yang ditebang,” katanya.
Namun, ketika ditanya soal kemungkinan menghentikan rencana ini demi mendengarkan aspirasi warga, Raja tidak memberi jawaban tegas. Ia hanya menyebut perlu berkoordinasi dengan pimpinan. Sikap mengambang ini menambah kekecewaan masyarakat.
Dokumen Lingkungan Dipertanyakan
Persoalan makin pelik karena dokumen perizinan dan kajian lingkungan dinilai tidak jelas. Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Simalungun, Daniel Halomoan Silalahi, mengaku pihaknya belum pernah menerima permohonan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) dari PTPN IV.
“Sampai saat ini tidak ada pengajuan kajian dampak lingkungan. Kami juga belum pernah menerbitkan Amdalnya,” ujarnya.
Ia menambahkan, DLH memang sempat melakukan sosialisasi, tetapi belum sampai pada tahap mengeluarkan rekomendasi. “Kami hanya sampai pada konsultasi publik,” kata Daniel.
Ironisnya, Darlis Nainggolan mengaku tidak tahu siapa perwakilan masyarakat yang hadir dalam sosialisasi tersebut. “Saya tidak tahu siapa yang hadir mewakili kami. Padahal masalah ini sudah bergulir hampir satu dekade,” ucapnya kesal.
Lebih lanjut, Darlis mengungkapkan di dalam HGU kebun teh Sidamanik sudah ada tanaman sawit berusia sekitar 10 tahun dengan luas sekitar 2–3 hektar. Menurutnya, lahan itu sengaja diterlantarkan untuk dijadikan alasan konversi.
“Kalau benar optimalisasi, harusnya diarahkan pada ketahanan pangan, bukan sawit. Sawah kami rusak, banjir datang, masyarakat yang menanggung akibatnya,” ujarnya.
DPRD Siap Bentuk Pansus
Ketua Komisi I DPRD Simalungun, Perikson Purba, mengatakan pihaknya akan membentuk Panitia Khusus (Pansus) guna menelusuri persoalan ini.
“Kita akan kroscek ulang izinnya. Apakah izin konversi teh ke sawit di 257 hektar itu sudah benar-benar ada dari pihak perizinan dan DLH. Kalau perlu, kita panggil semua pihak,” tegasnya.
Ia juga meminta DLH segera menyerahkan dokumen lingkungan untuk dibahas di DPRD. Selain itu, DPRD berencana meninjau ulang izin sawit yang sudah terlanjur tumbuh di kebun teh.
“Masalah ini bukan sekadar soal izin. Ini tantangan besar bagi kita semua. Rencana konversi tidak hanya mengancam lingkungan dan mata pencaharian warga, tapi juga menguji komitmen pemerintah daerah dan perusahaan dalam menanggapi suara rakyat,” pungkasnya.
Dengan ketidakjelasan perizinan, sikap perusahaan yang terkesan menutup telinga, dan ancaman lingkungan yang nyata, konflik di Sidamanik dipastikan tidak akan selesai dalam waktu dekat. Warga terus bersuara lantang, menolak sawit masuk ke kebun teh yang selama ini menjadi ikon dan sumber kehidupan mereka.(Putra Purba)