Krisis air di Sidamanik semakin parah setelah debit sejumlah umbul menurun hingga 35 persen. Dokumen perizinan sawit menjadi sorotan karena dinilai berpotensi mengganggu daerah tangkapan air. DLH, PDAM, dan pakar hidrologi memberikan penjelasan terkait dampak ekologis yang muncul.
Simalungun|Simantab – Aliran air dari Perkebunan Teh Sidamanik, Kecamatan Sidamanik, Kabupaten Simalungun, yang selama puluhan tahun menjadi penopang kebutuhan warga, kini terus menurun. Pengeringan bertahap di sejumlah umbul memaksa masyarakat berhemat dan menambah kekhawatiran atas kondisi daerah tangkapan air.
Ketegangan publik meningkat setelah beredar dokumen lingkungan di media sosial. Dalam unggahan itu terlihat dua Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan Hidup (SPPL) yang ditandatangani pejabat berwenang.
Dokumen pertama memuat rencana diversifikasi kebun sawit seluas sekitar 55 hektare dan pengolahan teh berkapasitas 100 ton per hari serta pengelolaan sawit sekitar 312 hektare di Kebun Bah Butong.
Dokumen kedua berisi rencana diversifikasi sawit sekitar 100 hektare dan pembangunan pabrik pengemasan teh berkapasitas 0,21 ton per hari di Kebun Sidamanik. Keduanya ditandatangani pada 27 Mei 2025.
Selain itu, dua Nomor Induk Berusaha (NIB) juga diterbitkan pada 20 Maret 2025 atas nama Bupati Simalungun melalui Kepala DPMPTSP. Rangkaian dokumen ini memunculkan pertanyaan publik mengenai kajian ekologis di kawasan yang merupakan daerah tangkapan air sensitif.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Simalungun, Daniel Silalahi, menegaskan bahwa instansinya tidak menerbitkan izin konversi lahan. DLH hanya memeriksa dokumen lingkungan sesuai ketentuan.
“DLH tidak memberi izin. Kami hanya memeriksa UKL/UPL,” ujarnya di Kantor DLH, Rabu (26/11/2025).
Namun Daniel menyampaikan adanya dugaan ketidaksesuaian antara dokumen dan praktik lapangan.
“Kadang air di hilir kering, tapi di hulu airnya banyak. Ada yang tidak pas. Itu menimbulkan dugaan bahwa mereka memperluas area di luar dokumen,” katanya.
Ia juga menunjukkan perubahan proposal lahan konversi, dari pengajuan awal 155 hektare menjadi 138 hektare yang akhirnya disetujui. Menurutnya, perusahaan masih memiliki ribuan hektare untuk optimalisasi tanpa menyentuh zona sensitif. Perluasan kebun sawit di kawasan resapan air dinilai berpotensi memperparah penyusutan umbul.
DLH mencatat 4 hingga 5 umbul mengalami penurunan debit signifikan sejak 2023.

“Ada indikasi ilmiah yang harus ditelusuri. Tidak bisa langsung menyalahkan satu pihak sebelum uji teknis lengkap,” ujarnya.
Di sisi lain, Direktur Utama PDAM, Dodi Ridowin Mandalahi, membenarkan gangguan pasokan air ke Kecamatan Sidamanik dan Pematang Sidamanik.
“Debit umbul kami semakin kecil. Turunnya sekitar 35 persen,” ujarnya pada Rabu (26/11/2025).
PDAM kini menerapkan sistem distribusi bergilir untuk menjaga suplai.
Krisis air ini turut disoroti pakar hidrologi, Hidayati. Ia menjelaskan bahwa perubahan penggunaan lahan dapat merusak struktur infiltrasi dan mengganggu siklus hidrologi.
“Ketika tutupan lahan berubah drastis, kemampuan tanah menahan dan melepas air ikut berubah,” katanya.
Ia menegaskan, daerah tangkapan air yang rusak dapat menyebabkan penurunan debit mata air secara permanen, meski curah hujan tetap.
“Konversi kebun teh menjadi sawit dapat mengubah struktur tanah dan jalur aliran air bawah tanah,” ungkapnya.
Ia menilai perlu dilakukan audit dokumen lingkungan, tracer test, pemantauan debit jangka panjang, serta verifikasi tutupan lahan melalui citra satelit. Penurunan debit umbul di Sidamanik, katanya, adalah peringatan serius bahwa ekosistem air darat tengah berada dalam tekanan.
“Jika tidak ditangani dengan data dan kolaborasi lintas lembaga, Sidamanik bisa masuk fase krisis air yang lebih dalam,” ujarnya.(Putra Purba)







