“17 Agustus tahun 45, itulah hari kemerdekaan kita, hari merdeka nusa dan bangsa, hari lahirnya bangsa Indonesia, merdeka …Sekali merdeka tetap merdeka, selama hayat masih dikandung badan, kita tetap setia tetap sedia, mempertahankan Indonesia” …
Sepenggal lirik yang tentu tidak asing lagi bagi kita semua, Rakyat Indonesia. Upacara peringatan 17 agustus identik dengan lagu tersebut sejak diciptakan oleh H. Mutahar pada tahun 2009 yang silam. Ini adalah lagu baru yang berhasil menjadi idola semua kalangan. Merdeka … Merdeka … Merdeka
Jika ada jurnalis masih mewawancarai pejabat tentang makna hari kemerdekaan, saya yakin bahwa sang jurnalis sedang berpura pura, minimal sekedar menyenangkan nara sumber dan pembaca dengan pernak pernik kemerdekaan. ‘
Bahkan sang jurnalis bisa menuliskan makna kemerdekaan bagi sang pejabat sebelum wawancara dilakukan. Kenapa? Karena jawaban dari pejabat hampir sebagian besar adalah jawaban klise, berpura pura dan seakan menonjolkan diri bahwa dia adalah penentu arah perjalanan kemerdekaan itu sendiri.
“Mari kita maknai hari kemerdekaan ini dengan usaha mensejahterakan rakyat, membuat Indonesia lebih maju dan berdaya saing”, ujar sang pejabat ketika diwawancarai wartawan yang sedang berpura pura
Lalu apa makna hari kemerdekaan? Bukankah lebih baik jika kemerdekaan diisi dengan memerdekakan diri sendiri, memerdekakan keluarga, memerdekakan lingkungan terutama memerdekakan sekitar tempat bekerja bagi kita semua?
Apalah arti sebuah kemerdekaan bagi jurnalis ketika masih takut untuk menulis sesuatu yang janggal tentang pejabat. Jurnalis merdeka tentu saja, Jurnalis yang berani berteriak lantang ke pemilik medianya tentang upahnya sebagai jurnalis yang tidak kunjung sesuai standart.
Jurnalis yang merdeka bukanlah jurnalis yang menulis sesuka hati dan menghapus pemberitaan sesuka hati juga. Jurnalis haruslah menjadi orang mampu memerdekakan dirinya sendiri terlebih dahalu sebelum berteriak dalam senyap melalui tulisannya tentang kemerdekaan orang lain.
Jika pejuang 45 dahulu kala, berteriak dengan semangat Merdeka atau mati. Itu adalah pesan heroik karena ada musuh yang berkulit terang berada disekelilingnya. Itu adalah pesan agitatif sehingga semua berlomba lomba dengan semangat untuk mengangkat senjata meskipun hanya senjata sekelas bambu runcing.
Tapi terbukti hari ini, Kemerdekaan yang kita rayakan adalah buah kerja keras dan semangat menggebu gebu para pejuang termasuk juga bekas tusukan bambu runcing ke badan sang penjajah.
Dan hari ini, 77 tahun sudah, merdeka lalu mati ?
Saya sendiri merasa belum mampu menjadi orang yang merdeka, maka sayapun menyingkir dari hiruk pikuk perayaan kemerdekaan tahun ini. Entah teman teman yang lain, silahkan merayakan kemerdekaan menurut versinya masing masing. Merdeka Merdeka Merdeka, semoga tidak segera mati