Punggahan memiliki makna reflektif bagi individu dan komunitas. Lebih dari sekadar tradisi, punggahan menjadi momen untuk memperkuat hubungan sosial, mempererat tali kekerabatan, serta memperkaya nilai budaya yang sudah ada.
Simalungun|Simantab – Di tengah hamparan perbukitan dan perkebunan Simalungun yang hijau, satu tradisi unik bersemi, memadukan warisan budaya Jawa dan kearifan lokal.
Punggahan. Demikian tradisi itu disebut. Bukan sekadar perayaan makan bersama, tetapi sebuah perjalanan panjang akulturasi budaya dan refleksi diri yang kini menghadapi tantangan zaman.
Tradisi punggahan merupakan tradisi yang dilakukan umat Islam dalam menyambut datangnya bulan suci Ramadhan yang dilaksanakan pada akhir bulan sya’ban ( satu hari atau dua hari menjelang bulan ramadhan).

Tradisi punggahan dalam menyambut bulan suci Ramadhan ini telah dilaksanakan oleh masyarakat suku Jawa sejak dahulu hingga saat ini. Sehingga, tradisi ini sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam masyarakat Jawa karena tradisi ini dilaksanakan setiap tahunnya.
Meskipun dikenal luas di kalangan masyarakat Sunda dan Jawa, praktik ini mengalami perubahan serta adaptasi di berbagai daerah, termasuk Simalungun, Sumatera Utara.
Antropolog Sumut, Ibnu Avena Matondang, membuka tabir pelaksanaan tradisi punggahan di Tanah Habonaron Do Bona ini.
Menurutnya, punggahan pada dasarnya merupakan tradisi yang mencerminkan perpindahan ke kondisi yang lebih baik.
Kata punggah atau munggah bermakna naik atau beralih. Dalam praktiknya bertransformasi menjadi sebuah ritual sosial yang memperkuat kebersamaan dalam masyarakat.
Ia menjelaskan, tradisi ini berkembang seiring dengan proses migrasi dan interaksi budaya yang terjadi di wilayah Simalungun.
“Variasi bentuk punggahan di Simalungun adalah bukti nyata dari migrasi etnis Jawa yang berinteraksi dengan masyarakat lokal. Proses ini menghasilkan akulturasi budaya yang memperkaya khazanah tradisi di daerah ini,” ungkap Ibnu saat dikonfirmasi, Jumat (28/2/2025).
Ibnu menekankan, punggahan memiliki makna reflektif bagi individu dan komunitas. Lebih dari sekadar tradisi, punggahan menjadi momen untuk memperkuat hubungan sosial, mempererat tali kekerabatan, serta memperkaya nilai budaya yang sudah ada.
Tak hanya itu, esensi punggahan, menurut Ibnu, terletak pada momen refleksi diri.
“Ini adalah saat untuk merenungkan perjalanan hidup, memperbaiki diri, dan mempererat tali silaturahmi. Aspek-aspek lain, seperti hidangan khas dan doa bersama, hanyalah pelengkap yang memperkuat makna inti dari tradisi ini,” jelasnya.
Namun, Ibnu juga menyoroti adanya kecenderungan komodifikasi budaya, di mana tradisi migran lebih menonjol daripada tradisi lokal yang memiliki nilai serupa.
“Masyarakat Indonesia di setiap wilayahnya sebenarnya telah memiliki nilai-nilai sosial dan budaya yang kuat sejak lama. Punggahan hanyalah salah satu bentuk ekspresi dari nilai-nilai tersebut,” ujarnya.
Di era digital ini, punggahan menghadapi tantangan baru. Punggahan mengalami pergeseran makna, terutama di kalangan generasi muda atau Gen Z.
Generasi Z, kata Ibnu, yang tumbuh dalam budaya instan dan individualistis, cenderung mengaitkan punggahan dengan waktu dan tempat tertentu. Padahal, nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dapat dipraktikkan dalam berbagai konteks kehidupan.
“Gen Z lebih melihat punggahan sebagai acara seremonial tahunan saja, bukan sebagai bagian dari praktik hidup yang lebih luas,” katanya.
Sebagai seorang dosen di Jurusan FISIP Universitas Sumatera Utara (USU), Ibnu juga mencatat adanya kecenderungan punggahan menjadi semakin sentralistik, yang berpotensi menggerus kebudayaan lokal yang memiliki makna serupa.
“Inilah tantangannya. Jika suatu ritus hanya dipahami secara religius, tanpa mempertimbangkan aspek budaya yang lebih luas, ada risiko nilai-nilai lokal menjadi terpinggirkan,” tambahnya.
Di luar aspek budaya, punggahan juga memiliki dampak sosial dan ekonomi yang lebih besar dari yang terlihat di permukaan. Tradisi ini bukan hanya sekadar perayaan, tetapi juga bagian dari proses distribusi pengetahuan dan reproduksi kebudayaan.
“Tradisi ini menautkan manusia dengan alam, spiritualitas, dan kehidupan sosial dalam satu kesatuan. Ini bukan sekadar ritus religius, tetapi juga praktik hidup yang organik dan dinamis.” kata Ibnu.
Karena itulah, Ibnu menekankan bahwa punggahan tidak bisa sekadar dilestarikan sebagai kebijakan atau program budaya. Ia harus terus berkembang dan disesuaikan dengan konteks zaman, bahkan mungkin diadaptasi ke dalam budaya lokal, seperti melalui kosakata atau praktik khas Simalungun.
“Punggahan bukan sesuatu yang statis. Jika kita bisa menyesuaikannya dengan budaya lokal tanpa menghilangkan esensinya, maka ia akan tetap relevan dan bisa terus berkembang,” pungkasnya.

Di tengah gempuran modernisasi, punggahan membuktikan bahwa tradisi memiliki cara untuk bertahan dan beradaptasi. Nilai-nilainya tetap hidup, mengalir dalam berbagai bentuk, mengikat manusia dalam jalinan kebersamaan yang tak lekang oleh waktu.
“Punggahan berpotensi menjadi jembatan antara generasi muda dan warisan budaya mereka. Namun, diperlukan upaya untuk mengemas tradisi ini secara lebih relevan dengan gaya hidup generasi Z, tanpa menghilangkan esensi nilainya,” kata Ibnu.
Dilema Akulturasi: Antara Pengayaan dan Penggerusan
Lebih lanjut, Ibnu menekankan melakukan tradisi punggahan, sebagai agen penyebaran dan adaptasi budaya, juga menyimpan dilema.
Di satu sisi, tradisi ini memperkaya khazanah budaya lokal. Namun, di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa punggahan dapat menggerus tradisi lokal yang memiliki makna serupa.
“Penting untuk menjaga keseimbangan antara akulturasi dan pelestarian budaya lokal. Punggahan seharusnya menjadi pelengkap, bukan pengganti, dari tradisi-tradisi yang telah ada di masyarakat Simalungun,” ujar Ibnu.
Ibnu menekankan pentingnya pemaknaan punggahan yang lebih adaptif. Di masyarakat Simalungun yang mayoritas beragama Islam sebesar 56,77% ini, menjadikan Punggahan tidak hanya sekadar ritual keagamaan, tetapi juga simbol kerukunan budaya dan refleksi sosial.
“Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang holistik, yang melibatkan aspek budaya, sosial, dan ekonomi.” jelasnya.
Salah satu cara untuk menjaga relevansi punggahan adalah dengan mengadopsi kosakata Simalungun sebagai bagian dari hibriditas budaya.
“Ini akan memberikan sentuhan lokal pada tradisi ini, membuatnya lebih dekat dengan masyarakat Simalungun,” kata Ibnu.
Punggahan, dengan segala dinamika dan tantangannya, adalah cermin dari kekayaan budaya Indonesia. Tradisi ini mengajarkan kita tentang pentingnya refleksi diri, toleransi, dan pelestarian warisan budaya.
Di tengah arus modernisasi yang deras, punggahan menjadi pengingat akan akar budaya yang kuat, yang menjadi identitas bangsa.
“Penting untuk menjaga keseimbangan antara akulturasi dan pelestarian budaya lokal. Punggahan seharusnya menjadi pelengkap, bukan pengganti, dari tradisi-tradisi yang telah ada di masyarakat Simalungun,” kata Ibnu.(putra purba)