DPRD Pematangsiantar membahas Ranperda insentif bagi guru agama nonformal. Diharapkan membawa keadilan sosial, namun perlu perencanaan matang agar tidak membebani keuangan daerah.
Pematangsiantar|Simantab – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Pematangsiantar tengah membahas rancangan peraturan daerah (Ranperda) tentang pemberian insentif bagi tenaga pendidik di sektor pendidikan nonformal, khususnya guru agama. Kebijakan ini dinilai sebagai langkah menuju keadilan sosial, namun juga menimbulkan kekhawatiran akan beban fiskal baru bagi daerah.
Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD Pematangsiantar, Alponso Sinaga, menjelaskan bahwa pembahasan draf perda berfokus pada dua hal, yaitu perlindungan tenaga kerja lokal dan pemberian insentif bagi guru agama nonformal.
“Draf sedang disempurnakan dan akan melalui uji publik agar masyarakat bisa memberi masukan. Targetnya, tahun 2026 perda ini menjadi dasar hukum pemberian insentif,” ujarnya, Rabu (29/10/2025).
Ia menegaskan, insentif akan diberikan kepada guru agama yang telah mengabdi minimal satu tahun di rumah ibadah atau lembaga keagamaan, baik masjid, gereja, vihara, pura, maupun klenteng. “Kami ingin memastikan perda ini adil dan tidak diskriminatif,” tambahnya.
Pengakuan atas Peran Guru Agama
Wakil Ketua DPRD Pematangsiantar, Daud Simanjuntak, menyebut Ranperda ini sebagai bentuk penghargaan terhadap para guru agama yang berperan penting membentuk karakter masyarakat.
“Guru agama nonformal bukan hanya mengajar, tapi juga menanamkan nilai moral dan kebajikan. Mereka layak mendapat perhatian pemerintah,” katanya.
Daud meminta pemerintah daerah menyiapkan mekanisme penyaluran yang transparan agar penerima insentif tepat sasaran. “Perda seperti ini sering disusun dengan semangat tinggi, tapi gagal dijalankan karena perhitungan anggarannya tidak matang,” ujarnya.
Prioritas untuk Warga Kota
Anggota Komisi I DPRD Pematangsiantar, Immanuel Lingga, menegaskan insentif harus diprioritaskan bagi warga kota. “Kita ingin bantuan ini tepat sasaran, bukan untuk guru dari luar daerah,” ujarnya, Selasa (28/10/2025).
Ia menambahkan, guru agama informal yang telah mengajar setidaknya satu tahun akan menjadi prioritas penerima. “Kita ingin menghargai mereka yang telah mengabdi dengan konsisten membina masyarakat,” ucapnya.
Pandangan Pengamat
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Sumatera Utara, Tunggul Sihombing, menilai kebijakan ini perlu dirancang dengan hati-hati agar tidak menjadi simbol politik semata.
“Memberi insentif adalah hal baik, tetapi harus diikuti sistem yang terukur dan transparan. Pemerintah perlu membangun database tenaga pendidik informal lintas agama yang diverifikasi secara terbuka,” katanya.
Menurutnya, indikator keberhasilan harus jelas, seperti peningkatan kesejahteraan guru dan kualitas pengajaran. “Kebijakan ini jangan sampai menimbulkan kesenjangan antar kelompok agama. Semangatnya harus plural dan setara,” tegasnya.
Menjembatani Spiritualitas dan Kesejahteraan
Ranperda ini diharapkan menjadi langkah konkret menegakkan keadilan sosial bagi guru agama nonformal yang selama ini bekerja dengan pengabdian tinggi. Namun, keberhasilannya bergantung pada transparansi, perencanaan fiskal, dan pengawasan publik.
“Perda ini bisa menjadi tonggak sejarah, tapi juga bisa gagal jika dijalankan tertutup. Pengawasan publik adalah kunci agar perda ini benar-benar berpihak pada mereka yang terpinggirkan,” pungkas Tunggul.(Putra Purba)







