“Pemungut pungli berebut pengaruh di lahan eks Good Year Tapian Dolok milik Pemkab Simalungun”
Dua hari lalu, saya kembali mendapat undangan dari seorang teman. Teman yang sekarang banting setir menjadi petani, petani parlente tepatnya. Dia adalah lulusan dari Sarjana Ekonomi sebuah perguruan tinggi di Jogjakarta. Saya sebut aja namanya Andi. Andi adalah sosok petani parlente yang mencoba peruntungan di lahan eks Good Year yang puluhan tahun silam, HGU nya sudah dikembalikan ke negara. Negara kemudian memberikan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) kepada pemerintah Kabupaten Simalungun.
Entah bagaimana bermula, lahan seluas 200 an hektar ini menjadi tempat bertani bagi sekumpulan orang hebat se Kabupaten Simalungun. Ini adalah lahannya para jawara. Mulai dari jawara bongkar muat hingga jawara cakap cakap di gedung rakyat. Bahkan konon katanya konglomerat pun ada yang kacipratan lahan ini. Dan tentu saja karena dia konglomerat maka lahannya pun sangatlah luas. Seluas mata memandang.
Lahan tersebut bukanlah lahan tanpa tuan. Lahan tersebut dimiliki oleh pemerintah. Pemerintah yang punya segalanya untuk mengelolanya tetapi tidak mampu mengelolanya atau tidak mau mengelolanya. Konon katanya lahan tersebut adalah lahan surganya para jawara.
Di lahan tersebut terdapat tumpang tindih. Tumpang tindih kekuasaan tepatnya. Karena kekuasaannya tumpang tindih maka tentu saja pungutannya pun tumpang tindih. Konglomerat yang menurut infonya adalah kaki tangan dari sebuah perusahaan besar mengaku ngaku keliling lahan untuk mengutip dengan dalih telah mendapat restu. Restu yang katanya akan segera turun dalam secarik kertas. Tapi suratnya sepertinya mirip dengan kiasan mendung tak berarti hujan. Akan turun bukanlah sudah pasti turun.
Lalu ada seorang wanita yang layak disebut dengan wonder woman – nya Tapian Dolok. Kenapa? karena Irma Sihombing memiliki secarik kertas yang menunjuknya sebagai pengelola lahan tersebut. Setidaknya Irma Sihombinglah yang memberikan konsesi lahan kepada sebuah BUMN yang mendirikan pusat pengolahan semen di lokasi tersebut untuk pembangunan tol. Dan setidaknya Irma Sihombing sudah pernah menyetor seratusan juta rupiah ke kas daerah.
Menurutnya dia tidak bisa mengelola lahan tersebut karena anak main kekuasaan ikut cawe cawe dan melakukan pungutan. Yang menurutnya juga tidak tau disetor ke mana. Yang pasti pihak lain tidak ada melakukan setoran ke kas daerah seperti kata legislator Bernhard Damanik.
Disuatu kesempatan pernah ada narasi, pendapatan asli daerah yang disetor tidak ada namun lahannya selalu dikelola dan secara terang benderang didepan hidungnya Bupati dan perangkatnya. Dan mereka semua adem adem saja.
Dan para penguasa itu tidak mungkin tidak mengetahui hal tersebut. Tapi entah kenapa mereka diam saja. Mungkin mereka sedang berpura pura atau memang mereka sedang bersekongkol.
Hamparan lahan seluas 200 hektar tersebut ternyata tidak dapat diberdaya gunakan oleh Pemerintah Kabupaten Simalungun karena tidak tersedianya waktu dan tenaga atau sejatinya mereka sedang berbagi kavling di meja makan. Entahlah