Bangunan yang didanai melalui pagu Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (PUTR) tahun 2024 ini seharusnya menjadi pusat kreativitas dan wadah bagi para seniman lokal untuk melestarikan kearifan lokal Simalungun.
Simalungun|Simantab – Harapan akan kemajuan seni dan budaya di Kabupaten Simalungun sempat membuncah saat Gedung Sanggar Seni dan Budaya di Pamatangraya diresmikan oleh Bupati Simalungun periode 2021-2024, Radiapoh Hasiholan Sinaga pada 15 Januari 2025 lalu.
Namun, di balik kemegahan bangunan yang menelan anggaran fantastis senilai Rp5,5 miliar tersebut, tersimpan realitas ironis: gedung itu kini terbengkalai dan belum difungsikan sama sekali.
Bangunan yang didanai melalui pagu Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (PUTR) tahun 2024 ini seharusnya menjadi pusat kreativitas dan wadah bagi para seniman lokal untuk melestarikan kearifan lokal Simalungun. Namun, alih-alih menjadi ruang berkesenian yang hidup, gedung itu kini hanya menjadi saksi bisu dari janji-janji yang belum terwujud.
Protes Keras dan Pertanyaan Kritis
Situasi ini memicu reaksi keras dari berbagai kalangan. Ketua Ikatan Keluarga Islam Simalungun (IKEIS), Lisman Saragih, menyuarakan protes tegasnya.
“Pembangunan Gedung Sanggar Seni dan Budaya ini menunjukkan kurangnya perencanaan yang matang dari pemerintah daerah,” ujarnya saat dikonfirmasi, Kamis (14/8/2025).
Ia mempertanyakan transparansi dan akuntabilitas pemerintah daerah dalam mengelola proyek yang menghabiskan uang rakyat dalam jumlah besar.
“Anggaran sudah digelontorkan, bangunan sudah berdiri, tetapi fungsinya tidak jelas. Ini adalah bentuk pemborosan anggaran yang seharusnya bisa dialokasikan untuk program lain yang lebih mendesak bagi masyarakat,” katanya dengan nada kecewa.
Ia juga menambahkan bahwa kondisi ini mencerminkan minimnya koordinasi antarorganisasi perangkat daerah (OPD) terkait, di mana Dinas PU yang membangun, tetapi Dinas Kebudayaan, Pariwisata, dan Ekonomi Kreatif (Disbudparekraf) tidak memiliki rencana aksi yang jelas untuk memanfaatkan bangunan tersebut.
Pengakuan Dinas dan Tantangan Promosi
Menanggapi hal ini, Kepala Disbudparekraf Kabupaten Simalungun, Fikri Damanik, tidak menampik kondisi tersebut. Ia membenarkan bahwa hingga kini belum ada kegiatan apa pun yang diselenggarakan di gedung tersebut.
Pengakuannya ini semakin menguatkan dugaan bahwa proyek pembangunan tidak sejalan dengan program kegiatan yang telah disiapkan.
“Kami memang belum mengadakan kegiatan apa pun di sana. Kami masih menyusun program dan berkoordinasi untuk pengisian kegiatan yang tepat,” jelas Fikri.
Ia juga mengakui bahwa pengembangan seni dan budaya, serta pelestarian kearifan lokal, menjadi tantangan tersendiri bagi dinasnya.
Namun, jawaban ini tidak serta-merta meredam kritik. Pertanyaan besar yang muncul adalah mengapa pemerintah daerah terburu-buru meresmikan gedung yang belum siap secara fungsional?
DPRD Mendesak Perhatian pada Event Wisata
Kritik terhadap kinerja Disbudparekraf juga datang dari Anggota Komisi IV DPRD Simalungun, Lambok Parlindungan Silalahi, yang menyoroti rendahnya promosi wisata di Simalungun.
Ia mendesak agar dinas terkait lebih fokus pada event yang dapat dinikmati langsung oleh masyarakat, ketimbang hanya fokus pada pembangunan fisik yang tidak jelas manfaatnya.
“Saya lihat selama ini promosi wisata juga sangat rendah. Seharusnya, Disbudparekraf memprioritaskan event-event seni dan budaya yang dapat langsung dirasakan dampaknya oleh masyarakat dan wisatawan,” kata Lambok.
Politisi asal Partai Nasdem ini menilai bahwa selama ini Disbudparekraf Simalungun terkesan berjalan di tempat. Promosi kekayaan budaya dan destinasi wisata Simalungun belum digarap secara maksimal, bahkan terkesan minim.
Tak hanya itu, Lambok membandingkan dengan daerah lain yang mampu menggerakkan ekonomi masyarakat melalui festival dan pertunjukan seni-budaya yang terorganisir dengan baik.
Lambok mengungkapkan bahwa DPRD sebelumnya sudah pernah memberikan saran konkret kepada Disbudparekraf. Salah satu sarannya adalah agar pertunjukan seni dan budaya tidak hanya terpusat di ibu kota kabupaten, tetapi juga digelar di daerah perbatasan Simalungun.
“Kami sudah menyarankan agar pertunjukan seni dan budaya ini digelar di daerah-daerah perbatasan Simalungun. Misalnya, di perbatasan dengan Kota Pematangsiantar, Kabupaten Deli Serdang, atau Toba. Tujuannya jelas, untuk menarik perhatian wisatawan yang melintas dan memperkenalkan budaya Simalungun sejak awal,” jelasnya.
Namun, saran strategis tersebut tampaknya tidak diindahkan oleh pihak dinas. Lambok menyayangkan kurangnya inisiatif dan inovasi dari Disbudparekraf dalam menciptakan event yang menarik dan berkelanjutan.
Ia juga mempertanyakan sinergi antara pembangunan infrastruktur dan program kegiatan yang seharusnya berjalan beriringan.
“Membangun gedung megah tentu bagus, tapi kalau tidak ada isinya, tidak ada program yang jelas, itu hanya akan jadi monumen pemborosan. Rakyat butuh pertunjukan, butuh hiburan, dan para seniman butuh wadah untuk berekspresi. Jika semua itu tidak terwujud, maka uang rakyat Rp 5,5 miliar itu hanya menjadi tumpukan beton yang sia-sia,” pungkas Lambok.