Rendahnya kesadaran sebagian masyarakat Pematangsintar akan pentingnya sanitasi yang sehat, masih memprihatinkan.
Pematangsiantar|Simantab – Di tengah upaya Pemerintah Kota (Pemko) Pematangsiantar untuk menghadirkan hunian yang lebih layak melalui program rehabilitasi Rumah Tidak Layak Huni (RTLH), permasalahan sanitasi yang buruk masih menjadi tantangan besar yang membayangi kehidupan sebagian warganya.
Tahun 2025 ini, 40 unit rumah akan direhabilitasi sebagai langkah awal mengentaskan kemiskinan dan menata kawasan kumuh. Namun, pekerjaan rumah yang lebih besar, yakni mengatasi sanitasi yang tidak sehat, juga mendesak untuk ditangani.
Kepala Bidang Perumahan Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Pematangsiantar, Eva Imelda Sihombing menjelaskan, program rehabilitasi ini menyasar untuk menyentuh dua kategori wilayah: kawasan yang telah lama teridentifikasi sebagai kumuh sebanyak 30 unit dan kawasan non-kumuh yang dihuni oleh keluarga pra-sejahtera sebanyak 10 unit.
“Kami sangat berhati-hati dalam menentukan siapa saja yang berhak menerima bantuan ini. Prosesnya dimulai dari usulan di tingkat akar rumput, dari kelurahan dan kecamatan, kemudian kami lakukan verifikasi mendalam untuk memastikan bahwa bantuan ini benar-benar sampai kepada yang membutuhkan,” ujar Eva, Jumat (16/05/2025).
Ia menuturkan kucuran dana sebesar Rp20 juta untuk setiap rumah yang direhabilitasi. Program ini diharapkan menjadi modal berharga bagi keluarga penerima manfaat untuk membangun kembali dinding impian mereka.
Lebih dari sekadar perbaikan fisik, program ini membawa pesan bahwa pemerintah hadir dan peduli terhadap kondisi kehidupan warganya.
“Kami berharap program ini tidak hanya memperbaiki fisik rumah, yang memfokuskan hunian yang lebih layak, sehat, dan aman bagi para penerima, tetapi juga memberikan semangat baru bagi keluarga penerima manfaat untuk menjalani kehidupan yang lebih baik,” ujar Eva.
Eva juga menyinggung mengenai perubahan kewenangan dalam penanganan kawasan kumuh di Pematangsiantar. Tahun sebelumnya, Pemko telah menyerahkan tanggung jawab atas lima kawasan kumuh kepada Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumatera Utara.
Kelima kawasan tersebut, luasnya berkisar antara 10 hingga 15 hektare meliputi; Kelurahan Tanjung Tongah (10,49 hektare), Kahean (11,23 hektare), Asuhan (12,14 hektare), Simarito (13,68 hektare), dan Bantan (13,87 hektare).
“Pembagian kewenangan ini berdasarkan luas kawasan kumuh. Untuk kawasan di bawah 10 hektare menjadi tanggung jawab Pemko, antara 10 hingga 15 hektare ditangani oleh pemerintah provinsi, dan kawasan di atas 15 hektare menjadi kewenangan pemerintah pusat,” ujarnya.
Sanitasi Buruk Mengancam Kesehatan
Di balik harapan akan rumah yang lebih kokoh, tersimpan ironi permasalahan sanitasi yang masih memprihatinkan. Fungsional Sanitarian Ahli Madya di Dinas Kesehatan Pematangsiantar, Rasta Elia Ginting mengungkapkan, masih banyak warga yang belum memiliki akses terhadap sanitasi yang layak, terutama septic tank.
“Kita bisa membangun rumah yang bagus, tapi jika sanitasi di sekitarnya buruk, dampaknya terhadap kesehatan akan sangat besar. Penyakit bisa dengan mudah menyebar jika buang air besar sembarangan masih menjadi kebiasaan,” tutur Rasta.
Ia menyayangkan masih rendahnya kesadaran sebagian masyarakat akan pentingnya sanitasi yang sehat. Padahal menurutnya, membangun septic tank sederhana sebenarnya tidak membutuhkan biaya yang terlalu besar jika ada kemauan.
Ia menekankan perlunya kesadaran masyarakat untuk memiliki septic tank sebagai langkah awal menuju perbaikan kualitas hidup agar terwujudnya program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM).
“Rata-rata yang belum memiliki septic tank itu, segeralah diselesaikan. Malu kita kalau bicara banyak tentang kemajuan, tapi masalah sanitasi dasar belum tertangani,” ujar Rasta.
Ia meyakini, dengan kemauan dan sedikit alokasi dana, setiap keluarga mampu membangun septic tank sederhana sehingga mewujudkan pentingnya aspek sanitasi dalam mewujudkan lingkungan yang sehat.
Lebih lanjut, Rasta menyoroti target Kota Pematangsiantar untuk mencapai status Open Defecation Free (ODF), suatu kondisi yang menandakan suatu komunitas atau wilayah telah bebas dari praktik buang air besar sembarangan. Dari 53 kelurahan, baru 19 kelurahan yang mendeklarasikan diri bebas dari buang air besar sembarangan.
“Target kita di 2025 adalah seluruhnya ODF, atau setidaknya separuhnya. Ini bukan hanya soal citra kota, tapi menyangkut kesehatan masyarakat secara keseluruhan,” jelasnya.
Selain masalah septic tank, Rasta juga menyinggung permasalahan sampah yang turut memperburuk kondisi sanitasi di beberapa wilayah. Penanganan sampah yang belum optimal dapat mencemari lingkungan dan menjadi sumber penyakit.
Ia mengusulkan agar setiap rumah tangga mulai mengelola sampah organiknya sendiri untuk mengurangi beban Tempat Pembuangan Sementara (TPS).
“Rumah yang layak huni seharusnya juga didukung oleh lingkungan yang sehat. Sinergi antara pembangunan fisik rumah dan peningkatan kesadaran serta fasilitas sanitasi menjadi kunci untuk mewujudkan kualitas hidup yang lebih baik bagi masyarakat Pematangsiantar,” ujarnya lagi.
Ia menambahkan, pemerintah kota diharapkan tidak hanya fokus pada perbaikan rumah, tetapi juga menggencarkan sosialisasi dan memberikan dukungan teknis serta stimulus ekonomi bagi masyarakat untuk membangun dan menggunakan fasilitas sanitasi yang layak.(putra purba)