Serikat buruh di Kota Pematangsiantar kompak menuntut kenaikan UMK 2026 sebesar 10 persen demi menjaga daya beli dan kesejahteraan pekerja.
Pematangsiantar|Simantab – Menjelang penetapan Upah Minimum Kota (UMK) tahun 2026, serikat-serikat buruh di Kota Pematangsiantar kompak menuntut kenaikan hingga 10 persen. Mereka menilai kenaikan ini penting untuk menjaga daya beli dan kesejahteraan pekerja di tengah meningkatnya harga kebutuhan pokok.
Meski pemerintah daerah belum memberi bocoran besaran kenaikan, kalangan buruh berharap upah minimum tahun depan naik antara 8,5 persen hingga 10,5 persen. Jika tuntutan dikabulkan, maka UMK Kota Pematangsiantar yang tahun 2025 sebesar Rp3.306.778 akan menjadi sekitar Rp3,6 juta pada 2026.
Ketua Federasi Kehutanan, Perkayuan, Pertanian Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (FSB HUKATAN KSBSI) Kota Pematangsiantar, Atisokhi Waruwu, menegaskan bahwa tuntutan kenaikan tersebut memiliki dasar hukum. Ia mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168/PUU-XXI/2023 yang menegaskan bahwa penetapan upah minimum harus mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu.

“Angka 8,5 hingga 10,5 persen itulah yang menjadi acuan bagi serikat buruh di seluruh daerah. Selain itu, kami juga memperjuangkan adanya upah minimum sektoral yang nilainya harus lebih besar daripada UMK,” ujar Atisokhi, Rabu (12/11/2025).
Ia menilai perjuangan ini sebagai upaya memperjuangkan keadilan ekonomi dan keberpihakan terhadap kelas pekerja. “Kami tidak menuntut berlebihan, hanya ingin pemerintah memastikan buruh bisa hidup layak. Sebab pertumbuhan ekonomi tidak akan berarti tanpa kesejahteraan pekerja,” tambahnya.
Ketua Pimpinan Cabang Gerakan Pekerja dan Buruh Indonesia Raya (PC GPBI) Kota Pematangsiantar, San End Rinto Simorangkir, menilai usulan tersebut perlu segera disahkan sebagai langkah positif untuk memperbaiki kesejahteraan pekerja di tengah naiknya harga kebutuhan pokok.
Ia mendukung perjuangan buruh, namun juga memahami kondisi fiskal pemerintah dan tantangan ekonomi nasional. “Kami ingin kenaikan upah sebesar 10 persen dapat diwujudkan, tetapi juga harus realistis. Pemerintah daerah dan pusat sedang menghadapi situasi ekonomi global yang tidak mudah,” ujarnya.
Rinto menilai perjuangan buruh harus dilakukan melalui dialog konstruktif, bukan sekadar desakan sepihak. Ia juga memuji langkah Pemerintah Kota (Pemko) Pematangsiantar yang membuka ruang komunikasi dengan serikat pekerja.
“Saya melihat pemerintah daerah cukup responsif. Tinggal bagaimana komunikasi ini dijaga agar keputusan nanti adil bagi buruh dan dunia usaha. Jika pengusaha sehat, buruh juga terlindungi,” ucapnya.
Menurutnya, kesejahteraan buruh tidak hanya diukur dari kenaikan upah, tetapi juga dari jaminan sosial, keselamatan kerja, dan peningkatan produktivitas. “Kami berharap pemerintah pusat memperkuat perlindungan bagi pekerja informal yang jumlahnya makin banyak,” tambahnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker) Kota Pematangsiantar, Robert Sitanggang, mengatakan pembahasan mengenai besaran kenaikan upah masih berlangsung. “Sabar dulu, kami masih dalam proses. Pengumumannya tetap dijadwalkan pada November,” ujarnya, Rabu (12/11/2025).
Ia menuturkan pihaknya belum membahas usulan UMK bersama Dewan Pengupahan Kota. Robert menjelaskan, pembahasan UMK akan tetap mengacu pada regulasi yang berlaku, meskipun tidak menutup kemungkinan adanya penyesuaian dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2023 yang menjadi dasar perhitungan.
Kini, suara buruh Pematangsiantar semakin kompak. Mereka berharap keputusan pemerintah tidak hanya berpihak pada stabilitas ekonomi, tetapi juga memastikan setiap pekerja memperoleh penghidupan yang layak dan manusiawi.(Putra Purba)






