Isu dugaan pungli dalam pembuatan SIM di Pematangsiantar dibantah polisi. Namun pakar hukum menegaskan, jika benar terjadi, pungli tergolong tindak pidana korupsi dan perlu pengawasan digital yang transparan.
Pematangsiantar|Simantab – Isu dugaan pungutan liar (pungli) dalam proses pembuatan Surat Izin Mengemudi (SIM) di Satuan Penyelenggara Administrasi SIM (Satpas) Polres Pematangsiantar kembali mencuat. Kabar yang beredar menyebut adanya praktik “mark-up” biaya pembuatan SIM yang jauh melebihi tarif resmi yang telah ditetapkan pemerintah.
Pihak kepolisian menegaskan layanan di Satpas Pematangsiantar berjalan sesuai aturan tanpa pungutan tambahan. Kasat Lantas Polres Pematangsiantar, Iptu Friska Susana, menepis kabar tersebut. Ia menyebut informasi soal adanya biaya tambahan di luar ketentuan tidak benar.
“Kami sudah mengingatkan seluruh anggota agar tidak melakukan pungutan di luar ketentuan. Semua pelayanan pembuatan SIM mengacu pada PP Nomor 76 Tahun 2020 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP),” ujar Friska, Kamis (16/10/2025).

Ia menegaskan pihaknya terbuka terhadap pengawasan publik dan siap menindaklanjuti laporan masyarakat bila ditemukan praktik pungli di lapangan. “Kalau ada masyarakat yang merasa dirugikan, silakan laporkan. Kami akan proses,” tambahnya.
Biaya Resmi dan Mekanisme Pembuatan SIM
Kanit Regident Satlantas Polres Pematangsiantar, Iptu Elon Sitinjak, menjelaskan tarif resmi pembuatan dan perpanjangan SIM. Untuk SIM A baru ditetapkan sebesar Rp120.000 dan perpanjangannya Rp80.000. SIM C baru dikenakan biaya Rp100.000 dengan perpanjangan Rp75.000. Sementara untuk SIM B1 atau B1 Umum yang naik golongan dikenakan Rp120.000, sedangkan perpanjangan SIM B1 atau B2 sebesar Rp80.000.
Selain itu, terdapat biaya uji keterampilan atau klipeng sebesar Rp50.000. “Semua biaya itu masuk ke kas negara melalui sistem PNBP. Tidak ada pungutan tambahan. Jika ada oknum yang bermain di luar itu, itu jelas pelanggaran,” kata Elon.
Ia juga menegaskan pemohon SIM yang masa berlakunya habis wajib mengikuti proses sesuai aturan. “Kalau SIM B1 atau B2 Umum sudah habis masa berlakunya, wajib kembali dari SIM A dasar,” ujarnya.
Masyarakat Masih Ragu
Meski kepolisian memastikan layanan SIM bebas pungli, sebagian warga masih ragu. Beberapa pemohon menilai proses pengurusan masih rumit dan memakan waktu lama, sehingga membuka peluang bagi praktik “jalan pintas” lewat perantara.
Seorang warga Jalan Medan, Kecamatan Siantar Martoba, Andre Simanjuntak (29), mengaku sempat mengurus SIM C secara mandiri dan menghabiskan waktu hampir sepekan karena gagal ujian praktik. “Bayar resmi memang murah, tapi ribet. Banyak yang gagal di ujian praktik, jadi orang akhirnya cari jalan cepat lewat calo,” katanya.
Menurutnya, persoalan bukan hanya soal biaya, tapi juga persepsi tentang pelayanan publik yang dinilai berbelit dan kurang transparan.
Pakar Hukum: Pungli Termasuk Tindak Pidana Korupsi
Pakar hukum pidana dari Universitas Sumatera Utara, Mahmud Mulyadi, menegaskan bahwa pungli termasuk kategori tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf e UU Nomor 20 Tahun 2001. “Pungli bukan hanya pelanggaran etika, tapi bisa dijerat pidana korupsi,” ujarnya.
Ia menilai praktik pungli muncul karena lemahnya sistem pengawasan internal dan budaya birokrasi yang permisif terhadap gratifikasi kecil. “Ketika masyarakat terbiasa memberi uang lebih untuk mempercepat proses dan petugas menerima, itu memperkuat rantai korupsi kecil di level pelayanan,” jelasnya.
Mahmud menyarankan agar pengawasan tidak hanya dilakukan lewat imbauan, tetapi dengan sistem digital yang transparan. “Digitalisasi pelayanan publik bisa menutup ruang tawar-menawar antara pemohon dan petugas,” katanya.
Ia menambahkan, pemberantasan pungli di sektor pelayanan publik bukan hanya tanggung jawab aparat, tetapi juga masyarakat. “Hukum tidak akan efektif tanpa integritas petugas dan partisipasi publik. Pungli kecil nilainya, tapi besar dampaknya terhadap kepercayaan masyarakat kepada negara,” pungkasnya.(Putra Purba)