Nana Padmo Bicara Tentang Nge-review Makanan

TUKANG NGE-REVIEW MAKANAN…

Beberapa hari lalu ada gegeran tentang orang yang bikin review makanan, yang dilakukan dengan kasar… Aku melihat videonya. Aku juga menelusuri berita-berita tentang warung makannya. Setelah itu, aku melakukan penilaian: hmmm… nggak sesuai seleraku. Kelakuan model begitu bukan gayaku. Jadi… sampai modarpun, review model begini, nggak akan menjadi acuanku.

Aku ini suka jalan. Kadangkala, aku melakukan traveling cuma demi kulineran. Bisa tahu-tahu aku ke Medan, atau Makassar, atau Manila dan Bangkok. Dan semuanya bermodalkan review dari Organisasi Food Inspector kelas dunia, yang bernama : Michelin Guide yang konon, sudah berumur 100 tahun.

Misinya Michelin Guide adalah : untuk menyuburkan kegemaran bepergian dan menjelajahi petualangan cita rasa di aneka belahan dunia. Maka review dari organisasi Michelin Guide mencakup tempat kuliner di seluruh dunia, mulai dari restoran mahal yang bersistem ‘fine dining’… sampai ke kedai makanan yang sederhana, termasuk makanan kaki lima dan food truck.

  1. Cara kerja reviewer (disebut ‘Michelin Inspector’) menurutku sangat keren.
    mereka membayar sendiri makanan mereka makan, supaya ada obyektifitas dan kemandirian dalam menilai atau melakukan judgement.
  2. Supaya selera mereka memiliki standar kelayakan, alias terhindar oleh bias-bias selera pribadi, mereka dididik dengan sangat ketat. Biasanya, selama 5-6 bulan mereka ngintilin Food Inspector yang senior untuk ikut makan di mana-mana… sehingga mereka mengerti betul aspek apa saja yang perlu diperhatikan dan apa saja yang dinilai dari makanan yang mereka santap.
  3. Mereka menjaga kerahasiaan dengan teguh, alias betul-betul bersikap seperti pengunjung biasa, agar mendapat perlakuan dan mutu makanan seperti yang disajikan pada kastemer biasa. Jangan sampai, Michelin Inspector ini mendapatkan layanan istimewa.
  4. Mereka akan datang ke resto yang mereka teliti (baik datang sendiri maupun datang bersama-sama inspector lain) sebanyak beberapa kali dalam kurun waktu 1 tahun untuk mengecek konsistensi cita rasa di tempat itu.
  5. Organisasi ini bahkan ‘mendidik’ lidah para inspectornya agar mampu mengenali makanan daerah yang khas. Misalnya begini : inspector berdarah Australia akan dididik oleh inspector Korea untuk mengenali cita rasa Korea yang sejati… sehingga si Australia ini dapat memberikan review yang valid ketika meneliti resto Korea di Australia atau negara lain di dunia.

Sampai sini, kebayang kan…?
Kayak apa cara yang layak, teliti, dan berkualitas jika hendak mereview…?
Sebagai costumer yang akan mengeluarkan duit, aku jelas akan menyimak sumber yang valid lah…!

Ngapain aku dengerin reviewer yang nggak melakukan tugasnya dengan standar kualitas tertentu dan dengan FOKUS yang keliru pula…?

Jika kita hendak mereview sesuatu, maka kita musti FOKUS! Yang kita cari itu apa? Daftar resto dan warung yang enak kan…? Ya sudah, arahkan fokus kita ke kelompok pengusaha kuliner yang serius dengan profesinya…! Ngapain sibuk ngurusin pengusaha kuliner yang ngasal…?

Kalau kita adalah orang yang mengejar mutu…. Mata kita akan tertuju pada hal-hal bermutu, dan melewatkan hal-hal yang bukan menjadi tujuan kita.

Jadi kita musti bertanya dulu ke diri sendiri :
Kita ini food reviewer yang berkualitas…? Atau cuma pencari sensasi?

Kelas kita, terlihat dari kelakuan kita.
Kelas kita juga terlihat dari : pilihan narasumber kita.

Siapa narasumbermu…???

Nana Padmosaputro
Kamis 28 September 2023, 19:57

Iklan RS Efarina