Dalam gambar yang dirilis pada Kamis, 29 Februari 2024, sebuah helikopter Merlin dari Skuadron Udara Angkatan Laut 820 memuat dan menembakkan suar dari HMS Prince of Wales, saat memulai Latihan NATO pertahanan cepat dan kuat. (LPhot Stuart Dickson/Kementerian Pertahanan Inggris via AP)
simantab.com – Aliansi militer NATO baru-baru ini mengadakan pertemuan tingkat tinggi di Washington. Pertemuan ini berlangsung di tengah ketegangan perang Ukraina dan dinamika politik di Amerika Serikat.
Dalam pertemuan tersebut, NATO menyuarakan kekhawatiran tentang lemahnya pertahanan Eropa yang perlu diperbaiki dengan biaya besar. Menurut seorang perencana militer NATO yang tidak disebutkan namanya, pejabat telah mengidentifikasi beberapa kekurangan kritis di bidang pertahanan udara, rudal jarak jauh, jumlah pasukan, amunisi, logistik, dan komunikasi digital yang aman di medan perang.
NATO berencana untuk menjadikan persyaratan pertahanan minimum ini sebagai target mengikat bagi anggota pada musim gugur 2025. Namun, tantangan besar muncul dari keterbatasan anggaran di antara negara-negara anggota senior Eropa dan perbedaan pandangan tentang sikap terhadap Rusia.
Selain itu, kekhawatiran semakin meningkat dengan pemilihan presiden AS mendatang, yang bisa saja dimenangkan oleh Donald Trump, yang dikenal kritis terhadap NATO.
Menteri Pertahanan Inggris John Healey menegaskan bahwa Eropa perlu meningkatkan belanja militernya, terlepas dari hasil pemilu AS, karena prioritas Amerika akan semakin beralih ke Indo-Pasifik.
Seorang pejabat NATO menyatakan bahwa belanja pertahanan di atas 2% PDB diperlukan untuk mengatasi kekurangan tersebut. Saat ini, 23 anggota telah memenuhi atau melampaui persyaratan minimum tersebut.
NATO berada pada siaga tertinggi sejak Perang Dingin, dengan Menteri Pertahanan Jerman Boris Pistorius memperingatkan kemungkinan serangan Rusia dalam lima tahun ke depan. Namun, pemerintah Eropa menghadapi kesulitan dengan anggaran yang terbatas akibat inflasi pasca perang Rusia-Ukraina.
Reaksi politik diperkirakan akan terjadi jika politisi mencoba mengurangi anggaran pertahanan di sektor lain, menurut catatan Eurointelligence. (cnbc/dk)