Hukum  

Terdakwa Penembakan Marsal Harahap, Pecah Berkas?

Simantab, Klinik Hukum, Berdasarkan website SIPP Pengadilan Negeri Simalungun, dua terdakwa kasus pembunuhan Mara Salim Harahap didaftarkan dalam dua berkas terpisah. 

Berkas perkara Sugito dan Yudi Pangaribuan akan disidangkan secara berbeda, bahkan menurut penelusuran di SIPP Pengadilan Negeri Simalungun, pasal yang didakwakan kepada kedua terdakwa juga berbeda.

Penerapan pasal yang berbeda antara satu terdakwa dengan terdakwa lain dengan berkas yang terpisah akan menambah kerancuan dalam pembuktian di persidangan sehingga berpotensi untuk membebaskan terdakwa?

Apalagi jika terdakwa dengan terdakwa lainnya dianggap bersama sama melakukan satu kejahatan dan perkara diadili dengan berkas terpisah dimana majelis hakim yang menyidangkan juga berbeda maka perbedaan putusan antara para terdakwa sangat besar kemungkinannya terjadi?

Pecah berkas ini juga sering berimplikasi kepada penerapan saksi mahkota. Dimana hanya ada satu orang yang akan menjadi saksi. Dan yang bersaksi adalah seorang terdakwa juga di berkas yang lain.

Sistem hukum di Indonesia mengakui adanya hak terdakwa yaitu hak ingkar. Dimana terdakwa tidak boleh dipidana karena berbohong dipersidangan, berbeda dengan saksi yang dalam memberikan kesaksiannya harus jujur dan dapat dipidana jika dianggap memberikan keterangan palsu didepan persidangan.

Tentu saja pemisahan berkas antara dua terdakwa ini berpotensi menguntungkan salah satu atau menguntungkan kedua terdakwa.

Yang paling harus diwaspadai adalah ketika ada usaha untuk satu terdakwa dikorbankan untuk membebaskan terdakwa lain. Jika ini terjadi maka matilah penegakan hukum dan kemanusiaan di tengah tengah kita.

Namun alibi alibi yang disajikan diatas hanyalah sebuah usaha untuk kita awas dalam mengawal kasus penembakan terhadap jurnalis Mara Salim Harahap.

Berikut ini Kantor Berita Simantab menghadirkan penjelasan hukum tentang pecah berkas yang diperoleh dari berbagai sumber:

 

 

[accordions title=”Pecah Berkas Perkara atau Splitsing”]
[accordion title=”Dasar Hukum Pecah Berkas Perkara” load=”show”]Pasal 142 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), [/accordion]
[accordion title=”Bunyi Pasal 142 KUHAP ?” load=”show”]“Dalam hal penuntut umum menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka yang tidak termasuk dalam ketentuan Pasal 141, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap masing-masing terdakwa secara terpisah.”[/accordion]
[accordion title=”Karena penjelasannya terkait Pasal 141, Simak bunyi pasal 141 KUHAP” load=”show”]“Penuntut umum dapat melakukan penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu surat dakwaan, apabila pada waktu yang sama atau hampir bersamaan ia menerima beberapa berkas perkara dalam hal:
a. beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang sama dan kepentingan pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap penggabungannya;
b. beberapa tindak pidana yang bersangkut-paut satu dengan yang lain;
c. beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut-paut satu dengan yang lain, akan tetapi yang satu dengan yang lain itu ada hubungannya, yang dalam hal ini penggabungan tersebut perlu bagi kepentingan pemeriksaan.”[/accordion]
[accordion title=”Apa Pendapat Ahli Tentang Pecah Berkas?” load=”show”]Pendapat Yahya Harahap dalam Bukunya: Pembahasan dan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan (hal. 442) menyatakan:
Bahwa pada dasarnya pemecahan berkas perkara terjadi disebabkan faktor pelaku tindak pidana terdiri dari beberapa orang. Apabila terdakwa terdiri dari beberapa orang, penuntut umum dapat menempuh kebijaksanaan untuk memecah berkas perkara menjadi beberapa berkas sesuai dengan jumlah terdakwa, sehingga:
a. Berkas yang semula diterima penuntut umum dari penyidik, dipecah menjadi dua atau beberapa berkas perkara.
b. Pemecahan dilakukan apabila yang menjadi terdakwa dalam perkara tersebut, terdiri dari beberapa orang. Dengan pemecahan berkas dimaksud, masing-masing terdakwa didakwa dalam surat dakwaan yang berdiri sendiri antara yang satu dengan yang lain.
c. Pemeriksaan perkara dalam pemecahan berkas perkara, tidak lagi dilakukan bersamaan dalam suatu persidangan. Masing-masing terdakwa diperiksa dalam persidangan yang berbeda.
d. Pada umumnya, pemecahan berkas perkara menjadi penting, apabila dalam perkara tersebut kurang bukti dan kesaksian.[/accordion]
[accordion title=”Tujuan Pecah Berkas?” load=”show”]Yahya Harahap mengemukakan pemecahan berkas perkara menjadi beberapa berkas yang berdiri sendiri, dimaksudkan untuk menempatkan para terdakwa masing–masing menjadi saksi timbal balik di antara sesama mereka. Sedangkan apabila mereka digabung dalam suatu berkas dan pemeriksaan persidangan, antara yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dijadikan saling menjadi saksi timbal balik.[/accordion]
[accordion title=”Siapa Yang Berhak Menentukan Pecah Berkas Atau Tidak?” load=”show”]Menurut Totok Bambang yang merupakan seorang jaksa, dalam artikel Splitsing Memungkinkan Pelanggaran Azas Hukum,
Splitsing adalah Hak Jaksa[/accordion]
[accordion title=”Apa Resiko Pecah Berkas?” load=”show”]Rudy Satrio, ahli hukum pidana Universitas Indonesia. Ia menjelaskan splitsing dapat menyulitkan jaksa dalam membuktikan hubungan pelaku satu dengan pelaku lainnya. Pasalnya, dalam tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang otomatis diperlukan pembuktian antara pelaku. Kalau perkaranya di-split bagaimana bisa mengetahui hubungan antar pelaku[/accordion]
[accordion title=”Pecah Berkas Perkara / Splitsing Dengan Pasal Yang Berbeda?” load=”show”]Akibat penentuan kualitas deelneming (penyertaan) yang tidak jelas mengakibatkan perbedaan penerapan hukum. Padahal tidak mungkin terbukti unsur penyertaan jika tindak pidana yang dilakukan berbeda. Kalau tidak sama, turut serta dalam melakukan apa ? Kalau pasalnya beda tidak bisa dikatakan deelneming, red), terang Rudi.[/accordion]
[accordion title=”Pecah Berkas Perkara / Splitsing, Hilang Hak Terdakwa?” load=”show”]Konsekuensi lain dari splitsing, para pelaku harus saling bersaksi dalam perkara masing-masing. Dalam satu perkara pelaku memiliki dua kedudukan, baik sebagai saksi maupun terdakwa. Akibatnya timbul saksi mahkota.
Menurut Chairul, itu tidak bisa dibenarkan. Karena dalam memberikan keterangan saksi harus disumpah. Artinya dia tidak boleh bohong. Sementara, dalam kapasitas terdakwa, pelaku tidak disumpah. Ia punya hak ingkar. Artinya dia boleh bohong, terang Chairul. Kondisi itu, kata Chairul, sangat tidak adil bagi terdakwa. Sementara, tujuan dari penegakan hukum, tidak hanya menegakan hukum, tapi juga keadilan. Padahal, terdakwa tidak boleh dipersalahkan atas keterangannya.[/accordion]
[accordion title=”Contoh Splitsing dalam Perkara Pembunuhan?” load=”show”]https://jdihn.go.id/files/414/Pembuktian%20Tindak%20Pidana%20Pembunuhan%20Berdasarkan%20Keterangan%20Saksi%20Mahkota%20Analisa%20Putusan.pdf[/accordion]
[/accordions]

Iklan RS Efarina