Survei SMRC: Warga Takut Bicara Masalah Politik di Era Jokowi

Jakarta – Peristiwa bentrokan antara anggota Front Pembela Islam (FPI) pengawal Rizieq Shihab dengan polisi pada awal Desember 2020 lalu yang mengakibatkan tewasnya 6 orang anggota FPI menimbulkan pro kontra di tengah masyarakat.

Ada yang berpendapat tindakan polisi telah sesuai dengan prosedur hukum yang berprinsip pada HAM, namun ada juga yang berpendapat sebaliknya.

Pada akhir Desember 2020 pemerintah membubarkan FPI dan melarang setiap kegiatan yang dilakukan atas nama FPI.

Tiga tahun sebelumnya (2017) pemerintah juga telah membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

Bagaimana publik menilai keputusan pemerintah membubarkan organisasi-organisasi tersebut? Apakah publik umumnya setuju atau tidak setuju pembubaran itu? Siapa yang setuju dan siapa yang tidak setuju?

Bagaimana pula publik menilai peristiwa bentrokan antara anggota FPI dan Polisi? Apakah di mata publik tindakan polisi melanggar atau telah sesuai dengan prosedur hukum yang bersandar pada prinsip HAM? Lebih jauh, bagaimana publik menilai kondisi kebebasan masyarakat terkait dengan bicara masalah politik, ikut organisasi, dan menjalankan agama?

Seberapa percaya publik dengan isu kriminalisasi ulama dan isu pembatasan terhadap dakwah Islam?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut SMRC melakukan survei nasional, dan diupdate terakhir pada 28 Februari-8 Maret 2021.

Populasi survei ini adalah seluruh warga negara Indonesia yang yang punya hak pilih dalam pemilihan umum, yakni mereka yang sudah berusia 17 tahun atau lebih, atau sudah menikah ketika survei dilakukan.

Dari populasi itu dipilih secara random (multistage random sampling) 1220 responden. Response rate (responden yang dapat diwawancarai secara valid) sebesar 1064 atau 87 persen. 

Sebanyak 1064 responden ini yang dianalisis. Margin of error rata-rata dari survei dengan ukuran sampel tersebut sebesar ± 3.07% pada tingkat kepercayaan 95% (dengan asumsi simple random sampling). 

Yang tak bisa diwawancarai sebagian besar mereka tidak ada di tempat, di luar rumah atau luar kota.

Responden terpilih diwawancarai lewat tatap muka oleh pewawancara yang telah dilatih. Quality control terhadap hasil wawancara dilakukan secara random sebesar 20% dari total sampel oleh supervisor dengan kembali mendatangi responden terpilih (spot check). 

Dalam quality control tidak ditemukan kesalahan berarti. Waktu wawancara lapangan 28 Februari – 8 Maret 2021.

Kesimpulan yang diperoleh SMRC sesuai dengan keterangan yang diperoleh Simantab.com pada Selasa (6/4/2021) di antaranya, bahwa meskipun tidak mayoritas, cukup banyak yang menilai bahwa masyarakat sering atau selalu takut bicara masalah politik (39%), takut karena penangkapan semena-mena aparat hukum (32%), takut ikut organisasi (20%), dan takut menjalankan agama (11%).

Baca juga:

Penilaian tentang adanya ketakutan masyarakat dalam bicara masalah politik, penangkapan, organisasi dan menjalankan agama mengalami peningkatan dibanding temuan survei sebelumnya.

Yang mengatakan masyarakat selalu/sering takut bicara politik naik dari 14% dalam survei Juli 2009 menjadi 39% dalam survei Maret 2021.

Yang mengatakan masyarakat “selalu/sering” takut karena penangkapan semena-mena aparat hukum naik dari 23% dalam survei Juli 2009 menjadi 32% pada survei Maret 2021.

Yang mengatakan masyarakat “selalu/sering” takut ikut organisasi naik dari 9% pada Juli 2009 menjadi 20% pada Maret 2021. Yang mengatakan masyarakat “selalu/sering” takut menjalankan agama naik dari 2% dalam survei Juli 2009 menjadi 11% dalam survei Maret 2021. 

Kemudian, terhadap opini bahwa pemerintah mengkriminalisasi ulama, mayoritas 60% dari umat Islam tidak setuju, tapi cukup banyak yang setuju (27%).

Umat Islam juga umumnya (54%) tidak setuju bahwa pemerintah membungkam keinginan umat Islam, namun cukup banyak yang setuju (32%).

Di antara umat Islam umumnya (54%) tidak setuju bahwa dakwah dihalang-halangi pemerintah, tapi cukup banyak yang menyatakan setuju (32%). Umat Islam umumnya (55%) bersikap bahwa dakwah tidak harus mendapat izin dari pemerintah.

Secara umum umat Islam merasa punya kebebasan untuk kegiatan keagamaan mereka, tapi cukup banyak yang tidak merasa demikian.

Menyangkut pembubaran HTI dan FPI, ada 32% warga yang tahu HTI. Dari yang tahu, 76% (24% dari populasi) tahu HTI telah dilarang. Dari 24% yang tahu pelarangan tersebut, 79% (19% dari populasi) setuju dengan pelarangan HTI, dan 13% (3% dari populasi) tidak setuju.

Ada 71% warga yang tahu FPI. Dari yang tahu, 77% (55% dari populasi) tahu FPI telah dibubarkan. Dari 55% yang tahu pembubaran tersebut, 59% (32% dari populasi) setuju dengan pembubaran FPI, dan 35% (19% dari populasi) tidak setuju. 

Lalu soal peristiwa bentrokan anggota FPI dan polisi, ada sekitar 62% warga Muslim yang tahu bentrokan antara anggota FPI pengawal M. Rizieq Shihab dengan polisi yang mengakibatkan tewasnya 6 orang anggota FPI. Dari yang tahu, ada 34% (sekitar 21% dari populasi Muslim) percaya Anggota FPI yang menyerang polisi dan 31% (sekitar 19% dari populasi Muslim) percaya Anggota polisi yang menyerang pihak FPI.

Dari yang tahu bentrokan, ada sekitar 38% warga Muslim (sekitar 24% dari populasi Muslim) yang menilai tindakan polisi tersebut melanggar prosedur hukum yang bersandar pada prinsip hak asasi manusia, dan ada 37% (sekitar 23% dari populasi Muslim) yang menilai tindakan polisi sesuai dengan prosedur hukum yang bersandar pada prinsip hak asasi manusia.

Warga Muslim terbelah dalam menilai peristiwa bentrokan antara anggota FPI dan Polisi. Tapi cukup banyak yang menilai peristiwa matinya 6 aktivis FPI secara tidak positif: aparat melanggar prosedur hukum yang bersandar pada prinsip HAM. Ada variasi persepsi publik tentang kebebasan.

Penilaian bahwa masyarakat selalu/sering takut bicara politik, takut penangkapan semena-mena aparat hukum, takut berorganisasi, dan takut menjalankan agama lebih banyak datang dari pemilih partai berbasis massa Islam: PPP, PKS, PAN.

Sejalan dengan itu, penilaian tentang adanya ketakutan-ketakutan di masyarakat tersebut juga lebih banyak dari warga beragama Islam. Persepsi tentang kebebasan juga terkait dengan penilaian atas kinerja presiden serta kondisi ekonomi dan politik. Yang kurang/tidak puas dengan kinerja presiden dan menilai kondisi ekonomi, politik, keamanan, dan penegakan hukum dalam keadaan buruk cenderung lebih negatif dalam menilai kebebasan di tengah masyarakat.

Dilihat dari sisi pilihan presiden, yang menilai bahwa masyarakat selalu/sering takut bicara politik paling banyak pada pemilih AHY (52%), kemudian pemilih Anies (51%).

Yang menilai masyarakat selalu/sering takut penangkapan semena-mena aparat hukum paling banyak pada pemilih AHY (47%), kemudian pemilih Ridwan Kamil (45%).

Yang menilai masyarakat selalu/sering takut ikut organisasi paling banyak pada pemilih Risma (41%), kemudian Sandi (31%). Yang menilai masyarakat selalu/sering takut menjalankan agama paling banyak pada pemilih AHY (20%), kemudian pemilih Sandi (19%).

Dari sisi demografi, penilaian bahwa masyarakat selalu/sering takut bicara politik, penangkapan, berorganisasi, dan menjalankan agama lebih banyak pada warga di perkotaan, usia 25 tahun ke bawah, berpendidikan lebih tinggi, berpendapatan lebih besar, etnis Minang, Sunda, dan yang beragama Islam.

Dari sisi wilayah, warga Jawa Barat adalah yang paling banyak menilai bahwa masyarakat selalu/sering takut bicara politik (54%), masyarakat selalu/sering takut karena penangkapan semena-mena aparat hukum (45%), dan masyarakat selalu/sering takut berorganisasi (30%).

Sementara yang menilai bahwa masyarakat selalu/sering takut menjalankan agama lebih banyak pada warga Banten (17%). 

Di antara warga Muslim, pemilih PKS adalah yang paling banyak percaya dengan isu kriminalisasi ulama (56%), isu umat Islam dibungkam (67%), dan isu dakwah Islam dibatasi (67%). Pemilih PKS juga yang paling banyak tidak setuju jika pendakwah harus mendapat izin pemerintah (73%).

Persepsi tentang isu-isu tersebut juga terkait dengan penilaian atas kinerja presiden serta kondisi ekonomi dan politik. Warga Muslim yang kurang/tidak puas dengan kinerja presiden dan menilai kondisi ekonomi, politik, keamanan, dan penegakan hukum dalam keadaan buruk cenderung lebih percaya dengan isu.

Dilihat dari sisi pilihan presiden, pemilih Anies Baswedan adalah yang paling banyak percaya dengan isu kriminalisasi ulama (51%), isu umat Islam dibungkam (62%), dan isu dakwah Islam dibatasi (55%).

Pemilih Anies juga paling banyak yang tidak setuju jika pendakwah harus mendapat izin pemerintah (67%). Dari sisi demografi, warga Muslim yang percaya dengan isu kriminalisasi ulama, umat Islam dibungkam, dakwah Islam dibatasi paling banyak pada warga yang berusia 25 tahun ke bawah, berpendidikan lebih tinggi, berpendapatan lebih besar, etnis Minang, kemudian Betawi.

Dari sisi wilayah, warga Muslim di DKI yang paling banyak percaya dengan isu kriminalisasi ulama (41%), isu umat Islam dibungkam (59%), dan isu dakwah Islam dibatasi (58%).

Di antara yang tahu, yang paling banyak tidak setuju dengan pelarangan HTI adalah pemilih PKS (47%). Sementara yang paling banyak tidak setuju dengan pembubaran FPI, di antara yang tahu, adalah pemilih PAN (76%), kemudian PKS (68%) dan PPP (66%).

Sikap terhadap pembubaran HTI dan FPI juga terkait dengan penilaian atas kinerja presiden dan evaluasi atas kondisi ekonomi dan politik. Warga yang kurang/tidak puas dengan kinerja presiden serta menilai kondisi ekonomi, politik, keamanan, dan penegakan hukum sekarang dalam keadaan buruk cenderung lebih positif pada HTI dan FPI dibanding yang menilai sebaliknya.

Dilihat dari sisi pilihan presiden, yang paling banyak tidak setuju dengan pelarangan HTI (di antara yang tahu) adalah pemilih AHY (34%), kemudian pemilih Anies (25%), dan pemilih Prabowo (26%).

Sementara yang paling banyak tidak setuju dengan pembubaran FPI (di antara yang tahu) adalah pemilih Anies Baswedan (73%), kemudian pemilih Sandi (55%).

Dari sisi demografi, yang tidak setuju dengan pelarangan/pembubaran HTI (di antara yang tahu) cenderung lebih besar pada warga yang berusia lebih dari 55 tahun (20%) , Pendidikan SLTA (16%), berpendapatan lebih besar (18%), etnis Madura (77%), dan yang beragama Islam (14%).

Sementara yang tidak setuju dengan pelarangan/pembubaran FPI (di antara yang tahu) lebih besar pada warga usia 26-40 tahun (41%), berpendidikan SLTA (42%), berpendapatan lebih besar (39%), etnis Betawi (80%), dan yang beragama Islam (39%).

Dari sisi wilayah, yang tidak setuju dengan pelarangan/pembubaran HTI (di antara yang tahu) lebih besar pada warga Banten (29%), kemudian Sumatera (26%).

Sementara yang tidak setuju dengan pelarangan/pembubaran FPI (dari yang tahu) lebih besar pada warga DKI (66%), kemudian Banten (53%). Di antara yang tahu, mayoritas dari warga Muslim yang memilih PDIP (59%) berpendapat bahwa anggota FPI yang menyerang polisi.

Di antara yang tahu, mayoritas dari warga Muslim yang memilih PDIP (62%) berpendapat bahwa tindakan polisi sesuai prosedur hukum dan bersandar pada prinsip HAM, sedangkan mayoritas dari warga Muslim yang memilih PKS (73%), PAN (65%) dan Gerindra (54%) berpendapat bahwa tindakan polisi melanggar prosedur hukum dan prinsip HAM.

Warga Muslim yang tidak puas dengan kinerja Jokowi dan menilai kondisi ekonomi, politik, keamanan, dan penegakan hukum buruk cenderung lebih negatif terhadap polisi.

Dilihat dari sisi pilihan presiden, di antara yang tahu, mayoritas dari warga Muslim yang memilih Ganjar (56%) dan Risma (56%) berpendapat bahwa anggota FPI yang menyerang polisi.

Terkait tindakan polisi, dari yang tahu, mayoritas dari warga Muslim yang memilih Ganjar (67%) dan Risma (59%) berpendapat bahwa tindakan polisi sesuai prosedur hukum dan bersandar pada prinsip HAM, sedangkan mayoritas dari warga Muslim yang memilih Anies (52%) berpendapat bahwa tindakan polisi melanggar prosedur hukum dan prinsip HAM.

Dari sisi wilayah, di antara yang tahu, mayoritas warga Muslim di Jatim (57%) berpendapat bahwa anggota FPI yang menyerang polisi, sedangkan mayoritas dari warga Muslim di Banten (61%) dan DKI (56%) berpendapat bahwa anggota Polisi yang menyerang pihak FPI.

Di antara yang tahu, mayoritas warga Muslim di Jateng+DIY (57%) dan Jatim (54%) berpendapat bahwa tindakan polisi sesuai prosedur hukum dan bersandar pada prinsip HAM, sedangkan mayoritas warga Muslim di DKI (59%) berpendapat bahwa tindakan polisi melanggar prosedur hukum dan prinsip HAM.

Persepsi warga tentang HTI, FPI, dan peristiwa  bentrokan anggota FPI dan polisi tidak bebas dari preferensi politik mereka. Juga tidak bebas dari bagaimana mereka menilai kinerja pemerintah, kondisi ekonomi, politik, keamanan, penegakan hukum secara nasional, serta latar belakang sosiologis.()

Iklan RS Efarina